Iman kepada Allah mencakup iman terhadap wujud Allah, iman terhadap rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya. Oleh sebab itu wajib mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal rububiyah maksudnya adalah meyakini bahwa Allah itu esa dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur segala urusan di alam semesta ini. Tidak ada sekutu bagi Allah dalam perkara-perkara ini (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam berdoa, merasa takut, berharap, tawakal, isti’anah, isti’adzah, istighotsah, menyembelih, bernazar, dsb. Oleh sebab itu ibadah-ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain-Nya siapa pun ia; apakah dia malaikat ataupun nabi terlebih-lebih lagi selain mereka (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Mentauhidkan Allah dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan segala nama dan sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri atau oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kesempurnaan dan kemuliaan-Nya tanpa melakukan takyif/membagaimanakan dan tanpa tamtsil/menyerupakan, tanpa tahrif/menyelewengkan, tanpa ta’wil/menyimpangkan, dan tanpa ta’thil/menolak serta menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28)
Pembagian tauhid ini bisa diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian secara komprehensif terhadap dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/28). Pembagian tauhid menjadi tiga semacam ini adalah perkara yang menjadi ketetapan dalam madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka barangsiapa menambahkan menjadi empat atau lima macam itu merupakan tambahan dari dirinya sendiri. Karena para ulama membagi tauhid menjadi tiga berdasarkan kesimpulan dari al-Kitab dan as-Sunnah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28)
Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah maka itu adalah tercakup dalam tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29)
Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah; bahwa tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Adapun tauhid uluhiyah mengandung keduanya. Artinya barangsiapa yang mengakui keesaan Allah dalam hal uluhiyah maka secara otomatis dia pun mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah dan asma’ wa shifat. Orang yang meyakini bahwa Allah lah sesembahan yang benar -sehingga dia pun menujukan ibadah hanya kepada-Nya- maka dia tentu tidak akan mengingkari bahwa Allah lah Dzat yang menciptakan dan memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan bahwasanya Allah memiliki nama-nama yang terindah dan sifat-sifat yang mulia (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30)
Adapun orang yang mengakui tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat maka wajib baginya untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (tauhid uluhiyah). Orang-orang kafir yang didakwahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui tauhid rububiyah akan tetapi pengakuan ini belum bisa memasukkan ke dalam Islam. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka supaya mereka beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an seringkali disebutkan penetapan tauhid rububiyah sebagaimana yang telah diakui oleh orang-orang kafir dalam rangka mewajibkan mereka untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/30-31)
Diantara ketiga macam tauhid di atas, maka yang paling dituntut adalah tauhid uluhiyah. Sebab itulah perkara yang menjadi muatan pokok dakwah para rasul dan sebab utama diturunkannya kitab-kitab dan karena itu pula ditegakkan jihad fi sabilillah supaya hanya Allah yang disembah dan segala sesembahan selain-Nya ditinggalkan (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29)
Seandainya tauhid rububiyah itu sudah cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerangi orang-orang kafir di masa itu. Bahkan itu juga berarti tidak ada kebutuhan untuk diutusnya para rasul. Maka ini menunjukkan bahwa sesungguhnya yang paling dituntut dan paling pokok adalah tauhid uluhiyah. Adapun tauhid rububiyah maka itu adalah dalil atau landasan untuknya (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 30).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kaum musyrikin arab kala itu untuk mengucapkan kalimat laa ilaha illallah maka mereka pun tidak mau. Karena mereka mengetahui bahwa maknanya adalah harus meninggalkan segala sesembahan selain Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Mereka berkata ‘Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya ini adalah suatu hal yang sangat mengherankan’.” (Shaad : 5)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka menyombongkan diri. Dan mereka mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila’.” (ash-Shaffat : 35-36)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka -kaum musyrikin di masa itu- tidak menghendaki tauhid uluhiyah. Akan tetapi mereka menginginkan bahwa sesembahan itu banyak/berbilang sehingga setiap orang bisa menyembah apa pun yang dia kehendaki. Oleh sebab itu perkara semacam ini harus diketahui, karena sesungguhnya semua penyeru aliran sesat yang lama maupun yang baru senantiasa memfokuskan dalam hal tauhid rububiyah. Sehingga apabila seorang hamba sudah meyakini bahwa Allah sebagai pencipta dan pemberi rizki menurut mereka inilah seorang muslim. Dengan pemahaman itulah mereka menulis aqidah mereka. Semua aqidah yang ditulis oleh kaum Mutakallimin tidak keluar dari perealisasian tauhid rububiyah dan dalil atasnya. Padahal keyakinan semacam ini tidaklah cukup, sebab harus disertai dengan tauhid uluhiyah (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 31)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)
Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)
Demikian pembahasan singkat yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat.
————-
Alhamdulillah sementara ini sudah terkumpul donasi Graha al-Mubarok sebesar Rp.213 juta. Masih terbuka kesempatan untuk berdonasi. Semoga Allah memberikan balasan terbaik bagi segenap donatur.
Info lebih lengkap silahkan buka di sini [klik]