—
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut jalan mereka. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sesungguhnya tauhid adalah kewajiban terbesar yang Allah perintahkan kepada setiap insan. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Oleh sebab itulah, Allah utus para rasul untuk membawa misi dakwah tauhid ini kepada setiap umat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Ayat yang mulia ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, walaupun syari’at mereka berbeda-beda. Demikian pula, ayat ini menunjukkan, bahwa tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam agama Islam; karena ia diwajibkan atas semua umat (lihat faidah ini dalam al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh al-Fauzan, hal. 11-12)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul ‘alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya…” (at-Tauhid Ya ‘Ibaadallah, hal. 9)
Ayat di atas -An-Nahl : 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amalan tidaklah menjadi benar dan diterima kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain Allah (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4).
Oleh sebab itu perintah bertauhid senantiasa bersanding dengan larangan dari berbuat syirik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (An-Nisaa’ : 36)
Ayat ini menunjukkan bahwa menjauhi syirik adalah syarat sah ibadah, karena Allah menyandingkan perintah beribadah dengan larangan berbuat syirik. Sebagaimana ayat ini juga mengandung pelajaran penting bahwasanya hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 15)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Apabila anda telah mengetahui bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali jika bersama dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri ibadah, maka ia menjadi rusak; sebagaimana halnya hadats apabila menimpa pada thaharah/bersuci.” (lihat al-Qawa’id al-Arba’)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Dengan demikian mewujudkan tauhid tidak bisa dilakukan tanpa menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu)
Salah satu diantara ciri ‘Ibadurrahman -hamba-hamba Allah yang utama- adalah tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan.” (Al-Furqan : 72). Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan tafsir istilah az-zuur ini, diantaranya mencakup; syirik dan pemujaan berhala, kedustaan, kekafiran, dan kefasikan. Ia juga meliputi segala bentuk kesia-siaan dan nyanyian. Abul ‘Aliyah, Ibnu Sirin dan yang lainnya menjelaskan bahwa salah satu cakupan makna az-zuur itu adalah hari raya orang-orang musyrik. Termasuk di dalam kandungan ayat ini juga adalah tidak menghadiri majelis peminum khamr/miras (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/33])
Oleh sebab itulah para ulama kita memberikan penjelasan tentang makna Islam dengan begitu apik. Mereka mengatakan, bahwa Islam itu adalah ‘kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya’.
Inilah prinsip dan kaidah yang sudah diisyaratkan oleh al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya; ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku…” (Az-Zukhruf : 26)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat/kalimat tauhid.” (Al-Baqarah : 256)
Oleh karena itu pula, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari penyembahan berhala. Allah berfirman (yang artinya), “[Ibrahim berdoa]; Wahai Rabbku, jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35)
Demikianlah teladan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para rasul dalam berdakwah, yaitu menjauhi segala bentuk kemusyrikan dan berlepas diri darinya, bukannya malah berdekat-dekat dengan perayaan kaum musyrikin dan mengucapkan selamat atas kekafiran mereka.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada masa sekarang ini, ada jama’ah-jama’ah yang mengaku bahwa mereka adalah da’i-da’i menuju agama Allah, namun mereka tidak berlepas diri dari kaum musyrikin selama mereka berada dalam manhaj hizbi yang mereka miliki!! Hal yang wajib bagi seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan apabila ingin berdakwah kepada agama Allah hendaklah dia mengerti apakah hakikat dakwah itu, apa saja pokok-pokok dakwah, apa yang dituntut pada diri seorang da’i, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang berlepas diri dari kaum musyrikin dan memutuskan loyalitas dengan mereka.” (lihat I’anatul Mustafid [1/106])
Maka, kita katakan kepada mereka:
Wahai orang yang ingin menebar kesejukan namun melempar bara api
Mengapa anda bakar akidah ini demi mengais simpati
Tidakkah cukup bagi anda kesejukan kalam ilahi
Tuk menjauh dan menjaga diri dari perusak tauhid yang suci…