Bismillah.
Iman adalah perkara yang paling berharga dalam hidup kaum mukminin. Karena dengan iman itulah hidupnya menjadi berarti dan membuahkan kebahagiaan. Iman itu harus selalu dijaga sepanjang waktu. Oleh sebab itu orang-orang beriman merutinkan dzikirnya kepada Allah.
Orang beriman menegakkan sholat dengan hati dan anggota badan mereka. Mereka berupaya memurnikan amal dan ibadahnya kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama/amalan dengan hanif…” (al-Bayyinah : 5). Orang yang hanif adalah yang menghadapkan jiwa dan raganya kepada Allah serta berpaling dari segala bentuk sesembahan selain-Nya.
Iman ini memiliki pondasi aqidah dan ketauhidan. Aqidah tentang Allah dan hari akhir. Aqidah terhadap risalah dan diturunkannya kitab-kitab. Aqidah tentang keberadaan para malaikat, dan aqidah tentang takdir Allah atas segala sesuatu. Keimanan yang tegak di atas aqidah ini membuahkan keikhlasan beribadah kepada Allah. Iman yang menumbuhkan amal salih dan ketaatan.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa amal salih tidak bisa diterima apabila terkotori dengan syirik dan kekafiran.
Oleh sebab itu para ulama kita menjelaskan bahwa hakikat Islam itu merupakan kepasrahan kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Tauhid itu sendiri merupakan pemurnian ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tauhid inilah perintah Allah yang terbesar kepada segenap manusia.
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah kepada Allah harus dibersihkan dari segala kotoran syirik dan kekafiran. Apabila syirik mencampuri ibadah maka ibadah itu menjadi rusak. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Iman kepada Allah juga harus dibersihkan dari kezaliman. Karena kezaliman merupakan penghalang hidayah dan perusak ketentraman. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang diberi keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Iman harus dibangun di atas keyakinan hati dan diucapkan dengan lisan. Iman juga harus membuahkan amal-amal ketaatan. Karena tidak ada iman tanpa amalan.
Sebagaimana tidak ada ibadah tanpa tauhid dan tidak diterima amal tanpa keikhlasan. Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa amal-amal itu memiliki keutamaan yang berbeda-beda disebabkan apa-apa yang berada di dalam hati pelakunya berupa iman, keikhlasan dan rasa takut kepada Allah.
Semakin dalam pengenalan hamba kepada Allah maka semakin besar rasa takutnya kepada Allah dan semakin patuh kepada perintah dan larangan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidak pantas bagi seorang lelaki mukmin dan perempuan mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka….” (al-Ahzab : 36)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sekali-kali tidak, demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikan kamu (rasul) sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)
Oleh sebab itu para ulama juga mengatakan bahwa tidak tegak Islam kecuali di atas landasan sikap pasrah dan ketundukan. Risalah ini datang dari Allah, kewajiban rasul adalah menyampaikannya, dan kewajiban kita adalah pasrah melaksanakannya. Wallahu a’lam.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com