Kepada-Mu Kupersembahkan Ibadahku

Bismillah.

Setiap hari kita membaca di dalam sholat ‘iyyaka na’budu’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah.” Kalimat ini sangat agung dan menyimpan banyak pelajaran untuk kita.

Diantara faidah yang perlu kita ingat dari kalimat ini adalah; bahwa segala bentuk ibadah yang kita lakukan merupakan hak Allah. Hanya Allah yang berhak mendapatkan persembahan ibadah itu; apakah itu sholat, doa, sembelihan, nadzar, dsb.

Selain itu, kalimat ini bermakna pemurnian ibadah kepada Allah. Tidak boleh kita mempersekutukan siapa pun atau apa pun juga dalam hal ibadah kepada Allah. Segala bentuk sesembahan selain Allah adalah batil dan penghambaan kepada selain-Nya adalah kezaliman. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya syirik benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Ibadah kepada Allah itu memadukan dua hal; puncak ketundukan dan perendahan diri serta puncak kecintaan. Dengan bahasa lain, ibadah ditegakkan di atas pilar kecintaan dan pengagungan. Kecintaan melahirkan harapan sementara pengagungan menumbuhkan rasa takut. Ibadah kepada Allah mencakup tiga amalan hati; takut, cinta, dan harapan.

Kalimat ini juga memberikan pelajaran bahwa sebagus apapun ibadah tidak ada nilainya di hadapan Allah apabila tidak disertai dengan tauhid dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Ibadah kepada Allah harus bersih dari segala bentuk syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)  

Didahulukannya objek ‘iyyaka’ sebelum kalimat ‘na’budu’ memberikan makna pembatasan dan pengkhususan. Artinya ‘Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu’. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadahnya kepada Allah maka dia telah berbuat syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, oleh sebab itu janganlah kalian menyeru/berdoa bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)

Dari sini kita mengetahui bahwa barangsiapa yang mengerjakan sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya tidaklah secara otomatis membuatnya bertauhid. Seorang dikatakan bertauhid apabila dia secara totalitas mempersembahkan ibadahnya kepada Allah semata.

Apabila dia sholat, puasa, haji dan seterusnya tetapi memberikan sebagian ibadahnya kepada selain Allah maka dia adalah musyrik dan tidak akan diterima amalnya oleh Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap amalmu dan benar-benar kami akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Adapun mengakui Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta belumlah memasukkan manusia ke dalam tauhid. Orang-orang musyrik Quraisy dahulu telah mengakui hal ini tetapi ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengajak mereka kepada kalimat laa ilaha illallah.

Hal ini menunjukkan bahwa tauhid yang dituntut dari manusia adalah tauhid uluhiyah; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah supaya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian sedikit catatan, semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *