Allah ta’ala memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya. Allah juga melarang kita dari beribadah kepada selain-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisaa : 36)
Ibadah adalah perendahan diri kepada Allah dengan landasan kecintaan dan pengagungan, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sebagaimana yang ada di dalam syari’at-Nya. Ibadah meliputi perkara lahir dan batin, bisa berupa ucapan, perbuatan, ataupun keyakinan dan perasaan. Diantara ibadah ada yang bersifat wajib dan ada yang dianjurkan. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah, tidak boleh ditujukan kepada selain-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif/menjauhi syirik…” (Al-Bayyinah : 5)
Ibadah kepada Allah tidaklah bernilai dan tidak akan diterima jika dibarengi dengan syirik kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami wahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik maka pasti akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar termasuk golongan orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Oleh sebab itulah seluruh para rasul diutus Allah untuk mengajak kepada tauhid dan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang meyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Imam Malik rahimahullah menjelaskan, bahwa thaghut adalah segala yang disembah selain Allah. Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu mengatakan, bahwa thaghut adalah setan. Jabir Bin Abdillah radhiyallahu’anhu mengatakan, thaghut adalah dukun-dukun. Menjauhi thaghut dan mengingkarinya adalah syarat sah keimanan. Tidak akan benar iman dan tauhid tanpa hal itu.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus.” (Al-Baqarah : 256)
Ibadah kepada Allah harus bersih dari syirik. Amal akan sia-sia jika tercampuri syirik dan kekafiran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23)
Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan amal yang dia mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia bersama syirik yang dia lakukan itu.” (HR. Muslim)
Karena sedemikian penting hal ini, maka kita diwajibkan untuk membaca ayat -sebagaimana terdapat dalam Al-Fatihah- yaitu (yang artinya) ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan’. Di dalam Iyyaka na’budu terkandung kewajiban mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik. Di dalam Iyyaka nasta’in terkandung penyandaran segala urusan kepada Allah semata dan melepaskan ketergantungan hati kepada selain-Nya.
Dengan mewujudkan makna ‘Iyyaka na’budu’ -hanya kepada-Mu kami beribadah- di dalam segala amalnya, maka seorang hamba akan terbebas dari penyakit riya’. Sementara dengan mewujudkan makna ‘Iyyaka nasta’in’ -hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan- di dalam aktifitasnya maka seorang hamba akan selamat dari penyakit ujub dan kesombongan. Karena sesungguhnya kedua hal itu -riya’ dan ujub- adalah perkara yang merusak dan menghancurkan amalan.
Kita tidak boleh beramal demi mencari pujian atau simpati manusia, karena hal ini termasuk dalam dosa riya’. Seorang membaguskan amal karena ingin dilihat atau didengar oleh manusia, ini adalah riya’. Riya’ termasuk dalam bentuk syirik -yaitu syirik kecil- dan kedudukannya jauh lebih besar daripada dosa besar. Riya’ merupakan salah satu sifat kaum munafikin. Allah menceritakan bahwasanya kaum munafikin malas dalam mendirikan sholat dan riya’ dengan amalannya. Mereka juga tidak mengingat Allah/berzikir kecuali sedikit sekali.
Berbeda halnya, dengan orang-orang beriman. Allah menceritakan sifat mereka adalah tunduk dan mengingat Allah dengan lisan ataupun hati dan anggota badan mereka. Orang beriman hatinya hidup dengan zikir dan ketaatan, sedangkan orang kafir dan munafik hatinya mati karena kelalaian dan kedurhakaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan antara orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apakah yang terjadi pada ikan jika dia dikeluarkan dari air?”
Menikmati ibadah dan zikir serta ketaatan merupakan buah keimanan yang tertancap kuat di dalam hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan angan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertancap di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”
Pada hakikatnya hanya orang beriman sajalah yang bisa menuai kebahagiaan sejati dalam hidup ini. Adapun kaum musyrik, kafir, dan munafik, maka perjalanan hidup mereka di alam dunia, bertambahnya usia mereka, menumpuknya kekayaan dan harta mereka, tingginya jabatan dan kedudukan mereka; maka itu semua tidaklah bermanfaat bagi mereka kelak ketika berjumpa dengan-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan membawa hati yang selamat.” (Asy-Syu’ara’ : 88-89)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, melakukan amal-amal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr : 1-3)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan diberikan keamanan dan merekalah orang-orang yang diberi petunjuk.” (Al-An’am : 82)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga atasnya dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (Al-Ma’idah : 72)
Dari sinilah maka kita bisa mengerti betapa besar faidah dan manfaat tauhid bagi setiap pribadi dan masyarakat di bumi ini. Karena segala kebaikan yang ada di dunia dan di akhirat pada dasarnya itu semua adalah buah dan hasil dari tauhid itu sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah pergi meninggalkan dunia dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah itu yang paling nikmat di dunia, wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Orang yang mengenal Allah, maka agamanya jauh lebih dicintainya daripada harta, kedudukan, jabatan, atau bahkan nyawanya sendiri. Dikisahkan, bahwa Sahabat Khubaib bin ‘Adi radhiyallahu’anhu sedang berada di bawah siksaan kaum musyrikin dan pedang berada di atas lehernya. Ketika itu mereka bertanya kepadanya, “Wahai Khubaib, apakah kamu ridha apabila Muhammad sekarang menggantikan posisimu?”. Sahabat yang mulia ini menjawab, “Tidak, bahkan walaupun sekedar tertusuk duri aku tidak biarkan beliau yang mengalaminya.”
Kepada Allah semata kita memohon ampunan atas segala kelalaian dan dosa yang kita lakukan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.