Kedudukan Hadits Nabi

Hadits nabi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam karena ia merupakan salah satu sumber hukum dalam syari’at Islam, sebuah jalan diantara jalan-jalan dalam menafsirkan kalam Allah (al-Qur’an), dan menjadi salah satu landasan atau dalil bagi ketetapan-ketetapan hukum (lihat Syarh Bulugh al-Maram oleh Syaikh Sa’ad asy-Syatsri, Juz 1. hal. 5)

Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang dibawa oleh Rasul kepada kalian ambillah dan apa saja yang dilarangnya untuk kalian tinggalkanlah.” (al-Hasyr : 7). Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pembagian harta fai’, meskipun demikian hukumnya bersifat umum mencakup segala perkara yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa pun yang beliau larang (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1294)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, urusan lahir maupun batin, dan bahwasanya apa-apa yang dibawa atau diajarkan oleh Rasul maka wajib bagi para hamba untuk mengambil dan mengikutinya. Tidak halal untuk menyelisihinya. Dan bahwasanya ketetapan Rasul terhadap hukum suatu perkara sama kedudukannya dengan ketetapan dari Allah. Tidak ada toleransi dan udzur bagi siapa pun untuk meninggalkan hal itu. Dan tidak boleh mendahulukan ucapan/pendapat siapa pun di atas ucapan/sabda beliau (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 851)

Ditinjau dari sumbernya tidaklah diragukan bahwasanya al-Qur’an dan as-Sunnah berada pada kedudukan yang sama; karena kedua-duanya merupakan wahyu dari Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah yang dia ucapkan itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4) (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 134).

Dengan demikian, as-Sunnah atau hadits merupakan wahyu yang kedua -setelah al-Qur’an- sehingga barangsiapa mengingkari dan menentangnya maka dia menjadi kafir (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/7)

Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajaran rasul itu, bahwa dia akan tertimpa fitnah (hukuman/penyimpangan) atau menimpa kepadanya azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63). Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti sunnah atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sunnah/hadits ini apabila telah terbukti kesahihannya maka seluruh umat muslim sepakat atas kewajiban untuk mengikutinya.” (lihat nukilan ini dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 120)

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu gara-gara pendapat siapa pun.” (lihat nukilan ini dalam Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Albani, hal. 50)

Sahabat yang mulia Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma menceritakan : Dahulu aku mencatat semua yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena aku ingin menghafalkannya. Orang-orang Quraisy pun melarangku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu menulis segala yang kamu dengar dari Rasulullah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia. Bisa jadi beliau berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku pun berhenti mencatatnya. Lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau pun bersabda, “Tulislah, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 7/443)

Semoga yang singkat ini bermanfaat.

:: Simak faidah dan artikel terbaru dengan mem-follow twitter kami di : https://twitter.com/kajianmubarok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *