Kedua Tangan-Nya Terbentang

Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata ‘tangan Allah terbelenggu’ maka semoga tangan-tangan mereka itulah yang terbelenggu, dan mereka dilaknat atas apa yang mereka ucapkan itu. Bahkan, dua tangan-Nya senantiasa terbentang. Dia menginfakkan sebagaimana apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Ma’idah : 64)

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, bahwa di dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa diri-Nya memiliki dua tangan yang terbentang. Hal itu menunjukkan bahwa pemberian Allah itu maha luas. Berdasarkan ayat ini maka kita pun wajib mengimani bahwa Allah memiliki dua tangan yang terbentang untuk mencurahkan pemberian dan kenikmatan-kenikmatan.

Akan tetapi kita tidak boleh mereka-reka gambaran di dalam hati kita atau melalui lisan kita mengenai bentuk dan kaifiyah kedua tangan itu. Kita juga tidak boleh menyerupakan tangan Allah dengan tangan makhluk. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura : 11)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya Rabbku hanyalah mengharamkan berbagai perbuatan keji yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa ada alasan yang dibenarkan, dan kalian mempersekutukan Allah yang sama sekali Allah tidak turunkan hujjah yang membenarkannya, dan kalian berbicara atas Allah dengan apa-apa yang kalian tidak ketahui.” (al-A’raaf : 33)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semuanya pasti akan dimintai pertanggung-jawabannya.” (al-Israa’ : 36)

Barangsiapa yang menyerupakan kedua tangan Allah dengan tangan makhluk maka sesungguhnya dia telah mendustakan firman Allah (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (asy-Syura : 11). Dan pada saat yang sama dia juga telah berbuat durhaka kepada Allah yang mengatakan (yang artinya), “Maka janganlah kalian membuat-buat penyerupaan bagi Allah.” (an-Nahl : 74). Dan barangsiapa yang mereka-reka gambaran bentuk dan kaifiyah dari kedua tangan Allah itu dan menyatakan bahwa tangan Allah itu begini dan begitu -dengan sifat dan karakter tertentu- maka sesungguhnya dia telah berbicara mengenai Allah sesuatu yang tidak dia ketahui dan dia juga telah mengikuti apa-apa yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya.

(lihat Fatawa Arkanil Islam, hal. 14-15)

Keterangan :

Demikianlah manhaj/metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah. Yaitu memadukan antara penafian dan penetapan. Menafikan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk, dan menetapkan sifat-sifat Allah apa adanya sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Dalam hal ini Ahlus Sunnah berada di pertengahan antara kaum Musyabbihah -yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk- dan kaum Mu’aththilah -yang menolak menetapkan sifat-sifat Allah-. Ahlus Sunnah menetapkan sifat Allah namun menolak keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan demikianlah yang diajarkan di dalam al-Qur’an.

Allah menyatakan (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura : 11). Pada ‘tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya’ terkandung penolakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Dan pada ‘Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ terkandung penetapan sifat-sifat Allah; bahwa Allah mendengar dan juga melihat. Akan tetapi mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk.

Hal ini juga memberikan faidah bagi kita bahwa menetapkan sifat tidaklah melazimkan tasybih/menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Karena Allah sendiri telah menafikan adanya keserupaan antara diri-Nya dengan makhluk. Di saat yang sama Allah menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi diri-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa tidaklah penetapan sifat melazimkan terjadinya penyerupaan. Meskipun mendengar dan melihat ada pada makhluk, akan tetapi mendengar dan melihat yang ada pada Allah tidak sama dengan apa yang ada pada makhluk. Karena sifat-sifat Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan diri-Nya. Meskipun nama atau sebutannya sama akan tetapi hakikat dan kaifiyahnya jelas berbeda.

(lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 30)

Dengan demikian, kita tidak boleh menyimpangkan makna ‘tangan’ kepada makna-makna lain seperti ‘kekuasaan’ atau ‘nikmat’. Allah memiliki tangan -sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an- dan hal itu wajib kita imani. Akan tetapi tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Menyimpangkan makna ‘tangan’ menjadi ‘kekuasaan’ atau ‘nikmat’ adalah suatu bentuk kelancangan terhadap Allah. Padahal Allah telah melarang kita berbicara atas nama Allah atau mengenai Allah dengan hal-hal yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya.

Allah pun berfirman kepada Iblis ketika dia tidak mau sujud kepada Adam (yang artinya), “Apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shaad : 75). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengistimewakan Adam ‘alaihis salam dimana Allah langsung menciptakannya dengan kedua tangan-Nya. Adapun makhluk yang lain Allah ciptakan dengan perintah dari-Nya. Allah katakan padanya ‘terjadi’ maka terjadilah hal itu. Ini merupakan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam ‘alaihis salam.

Dan di dalam ayat itu juga terkandung penetapan bahwa Allah memiliki dua tangan. Kita wajib mengimaninya, dan kita tidak boleh merubah makna tangan menjadi qudrah/kekuasaan/kemampuan atau nikmat dan lain sebagainya. Namun kita juga harus ingat bahwa tangan Allah tidak sama dengan tangan yang ada pada makhluk. Inilah jalan Ahlus Sunnah dalam mengimani sifat-sifat Allah. Tidak menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk dan mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu apa adanya sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.

(lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Lum’atil I’tiqad, hal. 74)

Dari sinilah kita mengetahui letak pentingnya seorang muslim untuk memahami aqidah Islam ini dengan senantiasa berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana yang diterapkan dan diajarkan oleh para salafus shalih. Sebagaimana perkataan yang sangat masyhur dari Imam Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata, “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah sebagaimana yang Allah kehendaki. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sebagaimana yang dikehendaki oleh Rasulullah.”

Adapun orang-orang yang menyimpang dari jalan salafus shalih dan para ulama yang dalam ilmunya maka mereka akan terjebak dalam kebingungan dan kerancuan. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita apabila terjadi banyak perselisihan hendaknya kita berpegang dengan Sunnah/ajaran beliau dan juga Sunnah/ajaran para khulafa’ur rasyidin; yaitu ajaran para sahabatnya radhiyallahu’anhum ajma’in.

Inilah bahtera keselamatan yang akan membawa umat kepada kebahagiaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah, “as-Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya maka dia akan selamat. Dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka dia akan tenggelam.”

———–

banner donasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *