Diantara pemikiran yang sering diangkat oleh para penyeru demokrasi adalah slogan kebebasan. Pada prakteknya, kebebasan ini telah mengalami banyak pemaknaan dan penyalahgunaan. Dalam kacamata demokrasi itu sendiri kebebasan seolah telah menjadi tujuan dan parameter kemajuan suatu bangsa.
Islam, sebagai agama yang telah sempurna tidak menampik adanya kebebasan pada diri manusia. Bahkan, di dalam akidah Islam kita mengenal adanya kebebasan memilih dan berbuat pada diri manusia. Manusia tidak dipaksa, ia bukan seperti robot. Akan tetapi ia adalah makhluk yang memiliki keinginan dan kebebasan. Oleh sebab itu dia layak untuk diberi penghargaan atas kebaikan dan hukuman atas kejahatannya.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang berbunyi ‘fa man syaa’a falyu’min, wa man syaa’a falyakfur’ artinya, “Barangsiapa yang ingin silahkan dia beriman, dan barangsiapa yang ingin maka silahkan dia kufur.” Hal ini menunjukkan adanya ‘kebebasan’ di dalam diri manusia.
Namun, kebebasan yang dimaksudkan di sini bukan berarti izin dan legalitas dari agama terhadap segala perbuatan manusia. Sebab, perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang benar dan ada yang salah. Tentu bukanlah keadilan apabila keburukan dan kesalahan dihargai sama dengan kebaikan dan kebenaran.
Sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman yang bunyinya ‘wa laa yardha li ‘ibaadihil kufra’ artinya, “Allah tidak ridha kekafiran pada hamba-hamba-Nya.” Jelas sekali ini menunjukkan bahwa kekafiran adalah perkara yang tidak disukai Allah. Sehingga kebebasan yang dimaksud adalah hak manusia untuk memilih jalan hidupnya yang pada akhirnya akan menentukan sebab kemuliaan atau kehinaan dirinya.
Dengan demikian, semata-mata kebebasan bukanlah perkara yang terpuji atau tercela. Apabila kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari segala bentuk keburukan maka ini adalah perkara yang dikehendaki oleh agama. Akan tetapi apabila yang dimaksud adalah kebebasan ala binatang sehingga manusia tidak lagi peduli dengan rambu-rambu agama, dan orang boleh berbicara dan berbuat sesuka hatinya dengan mengabaikan ajaran-ajaran agama, maka ini bukanlah yang dicintai Allah dan rasul-Nya.
Banyak dalil yang menunjukkan bahwa hakikat kebebasan di dalam Islam adalah kebebasan yang tidak bisa lepas dari koridor agama dan kaidah syari’at. Bahkan di dalam Islam kebebasan benar-benar mendapatkan tempat yang semestinya. Salah satu contohnya adalah bagaimana Islam sangat memuliakan hak tetangga, walaupun tetangga itu adalah berbeda agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud ‘tetangga’ di sini -sebagaimana diterangkan para ulama- mencakup segala jenis tetangga, apakah muslim atau non muslim, orang baik atau jahat. Tetangga tetap memiliki hak yang harus dihargai. Oleh sebab itu tidak boleh dengan alasan kebebasan kemudian seorang muslim mengganggu tetangga dengan suara-suara bising, kegaduhan, apalagi dalam bentuk tindakan fisik semacam perusakan dsb. Inilah bukti keagungan Islam dalam membingkai makna kebebasan manusia.
Contoh lainnya adalah bagaimana Islam bisa ‘menghargai’ hak manusia dalam memilih jalan hidupnya. Bahkan meskipun jalan hidup itu adalah kekafiran yang akan mengantarkan pelakunya ke neraka. Islam tidak dengan semena-mena menghancurkan semua yang berbeda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad/yang terikat perjanjian dengan individu atau negara muslim maka dia tidak akan mencium baunya surga.” (HR. Bukhari)
Membunuh orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin adalah sebuah kejahatan, bahkan masuk dalam kategori dosa besar. Bukan dosa biasa. Kalau seperti ini perlakuan Islam terhadap umat agama lain maka bagaimanakah lagi perlakuan Islam terhadap sesama kaum muslimin. Tentunya akan lebih menakjubkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)
Cobalah apabila kita gunakan sudut pandang kebebasan yang selalu didengungkan oleh para pemuja demokrasi. Mungkin penghargaan semacam ini tidak akan pernah bisa anda temukan di negara-negara yang disebut sebagai pejuang demokrasi dan pahlawan hak asasi manusia. Tidak usah berbicara mengenai perbedaan agama, karena pada kenyataannya semata-mata perbedaan warna kulit sudah membuat mereka tega merenggut nyawa manusia. Tidak usah menyinggung soal perbedaan keyakinan, karena sekedar berbeda kelompok politik pun membuat orang saling berbunuhan. Inilah kenyataan yang sering dilupakan oleh para pemuja demokrasi. Apa yang mereka sebut sebagai kebebasan dan hak asasi manusia itu sesungguhnya belum pernah dimuliakan dan dihargai di negeri mereka sebagaimana yang dimuliakan oleh Islam.
Apabila yang mereka kehendaki dengan kebebasan berbicara adalah mengorek aib-aib manusia dan tersebarnya kekejian, maka sungguh bukan kebebasan semacam itu yang dikehendaki dalam Islam. Oleh sebab itu Islam mengharamkan ghibah/menggunjing, namimah/adu domba, tajassus, ucapan kotor dan segala lontaran mungkar. Ibadah puasa adalah satu contoh konkret bagaimana Islam menjaga kebebasan itu dengan sebaik mungkin. Sehingga sekedar meninggalkan makan dan minum tidaklah cukup, apabila lisannya tidak menahan dari ucapan dusta dan kebatilan. Betapa banyak orang yang berpuasa sementara tidaklah ada hasil yang dia peroleh selain lapar dan dahaga.
Hakikat kebebasan yang dikehendaki dalam Islam ialah kebebasan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah. Inilah yang menjadi tujuan penciptaan segenap insan. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56). Oleh sebab itu para rasul menyerukan (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36). Thaghut bermakna luas mencakup semua yang disembah selain Allah.