Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa kalimat tauhid merupakan sebuah kalimat yang sangat agung. Karena tauhid inilah misi dakwah setiap rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)
Dalam hadits yang sahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang, yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan sebagaimana pula telah dijelaskan oleh para ulama bahwa iman meliputi ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan amal dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Demikian pula islam, ia bukan sekedar ucapan syahadat di lisan. Islam menuntut seorang hamba tunduk kepada Allah dan ikhlas beribadah kepada-Nya. Para ulama menjelaskan bahwa islam adalah kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.
Oleh sebab itulah dakwah Islam yang paling pertama dan paling utama adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik. Ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah.” dalam riwayat lain disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hal ini selaras dengan tujuan Allah menciptakan jin dan manusia, yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Oleh sebab itu makna dari kalimat laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah adalah [sesembahan] yang benar, dan apa-apa yang mereka seru selain-Nya adalah batil.” (al-Haj : 62)
Orang-orang musyrik kala itu pun memahami bahwa kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi harus meninggalkan syirik dan penghambaan kepada selain Allah. Allah berfirman menceritakan perkataan mereka (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- menjadikan sesembahan-sesembahan ini hanya menjadi satu sesembahan saja. Sungguh ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (Shod : 5)
Kalimat laa ilaha illallah merupakan dzikir yang paling utama. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama dzikir adalah laa ilaha illallah, dan seutama-utama doa adalah alhamdulillah.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Jabir radhiyallahu’anhu, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi)
Ilmu tentang laa ilaha illallah merupakan ilmu yang paling utama dan paling penting. Oleh sebab itu ia menjadi sebab masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui/mengilmui laa ilaha illallah maka dia masuk surga.” (HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu). Ilmu yang dimaksud di sini tentu saja ilmu yang membuahkan amalan; yaitu pengabdian kepada Allah semata.
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dengan judul ‘Ilmu sebelum perkataan dan amalan’. Sebagian ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
Tauhid kepada Allah tidak bisa tegak tanpa ilmu. Sebagaimana amal salih tidak bisa terwujud kecuali dengan landasan ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan padanya agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti tertolak.” (HR. Muslim)
Apabila dzikir bagi hati seperti air bagi ikan, maka bagaimana lagi jika dzikir itu adalah dzikir yang paling utama, kalimat yang paling mulia, dan intisari dakwah para nabi dan rasul; maka tentu kedudukannya lebih penting daripada air bagi seekor ikan, bahkan lebih penting dari udara dan oksigen bagi manusia. Karena dzikir yang dimaksud bukan semata-mata pemanis bibir, tetapi dzikir yang meresap ke dalam hati dan membuahkan amalan. Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Dzikir adalah taat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada-Nya sungguh dia telah berdzikir kepada-Nya. Dan barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya, maka dia bukanlah orang yang berdzikir; meskipun banyak membaca tasbih, tahlil, atau membaca al-Qur’an.”
Hidupnya hati dengan dzikir kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari). Hati yang hidup adalah hati yang menerima petunjuk Allah dan tunduk mengabdi kepada Allah. Hati yang hidup adalah hati orang beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah takutlah hatinya, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan mereka bertawakal hanya kepada Rabbnya.” (al-Anfal : 2)
Kedudukan Tauhid dalam Agama
Tanpa tauhid maka semua amal kebaikan akan sirna dan sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Oleh sebab itu amalan hanya akan diterima jika dibangun di atas tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Tauhid itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menujukan ibadah kepada Allah dan mengingkari syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan simpul yang paling kuat (kalimat tauhid) dan tidak akan terurai.” (al-Baqarah : 256)
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah berkata, “Perintah Allah yang paling besar adalah tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah, dan larangan Allah yang paling besar adalah syirik; yaitu berdoa/beribadah kepada selain Allah bersama ibadah kepada-Nya.”
Doa adalah ibadah yang sangat agung dan wajib ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh berdoa kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Rabbmu mengatakan; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku niscaya akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa bersama dengan Allah siapa pun.” (al-Jin : 18)
Ibadah adalah hak Allah, tidak ada yang berhak menerima atau mendapatkan ibadah kecuali Dia; Yang menciptakan langit dan bumi dan segala isinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah berfirman (yang artinya), “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu/sesembahan tandingan padahal kalian mengetahui.” (al-Baqarah : 22)
Menujukan ibadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah merupakan dosa besar yang paling besar dan sebab pelakunya kekal di dalam neraka. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikitpun penolong.” (al-Ma-idah : 72)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki oleh-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Oleh sebab itu tidak boleh menyepelekan dosa syirik, sebagaimana tidak boleh menyepelekan dosa-dosa secara umum. Bagaimana lagi jika dosa itu adalah penyebab kekal di neraka?! Lihatlah bagaimana bapaknya para nabi dan imamnya ahli tauhid yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis salam merasa sangat takut berbuat syirik, sampai-sampai beliau berdoa (yang artinya), “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35)
Para sahabat -generasi terbaik umat ini- pun tidak merasa aman dari penyakit hati yang merusak tauhid dan keimanan. Seorang tabi’in bernama Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; dan mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.”
Hasan al-Bashri rahmatullah ‘alaih mengatakan, “Seorang mukmin menggabungkan antara berbuat kebaikan dan perasaan khawatir, sedangkan orang fajir atau kafir menggabungkan antara berbuat buruk dengan perasaan aman/tidak khawatir.”
Dari sinilah kita mengetahui bagaimana kaum salih terdahulu begitu mengagungkan tauhid dalam kehidupannya. Inilah kunci kejayaan mereka setelah taufik dari Allah ta’ala…
Wallahul musta’an.