Kaidah Ibadah dari Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah mengandung pelajaran penting seputar makna dan hakikat ibadah. Di dalamnya terkandung pokok-pokok ibadah; yaitu cinta, takut, dan harap. Di dalamnya juga terkandung syarat diterimanya ibadah; yaitu harus ikhlas dan sesuai tuntunan. Di dalamnya juga terkandung ketetapan bahwa ibadah adalah hak Allah semata, tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ terkandung kecintaan. Karena Allah adalah Dzat yang mencurahkan nikmat dan Dzat yang mencurahkan nikmat itu dicintai sekadar dengan kenikmatan yang diberikan olehnya. Jiwa manusia tercipta dalam keadaan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya. Sementara Allah adalah sumber segala nikmat dan karunia yang ada pada diri hamba. Oleh sebab itu wajib mencintai Allah dengan kecintaan yang tidak tertandingi oleh kecintaan kepada segala sesuatu. Karena itulah kecintaan menjadi salah satu bentuk ibadah yang paling agung (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 185)

Di dalam kalimat ‘ar-Rahmanir Rahiim’ terkandung harapan. Karena Allah adalah pemilik sifat kasih sayang. Oleh sebab itu kaum muslimin senantiasa mengharapkan rahmat Allah (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190)

Di dalam kalimat ‘maaliki yaumid diin’ terkandung rasa takut. Karena di dalamnya terkandung rasa takut terhadap hari kiamat. Oleh sebab itu setiap muslim merasa takut akan hukuman Allah pada hari kiamat (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 190-191)

Apabila terkumpul ketiga hal ini -cinta, harap, dan takut- di dalam ibadah maka itulah asas tegaknya ibadah. Adapun orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada salah satunya saja maka dia menjadi orang yang sesat. Orang yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka tanpa rasa takut dan harap maka ini adalah jalannya kaum Sufiyah yang mengatakan bahwa ‘kami beribadah kepada Allah bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, tetapi kami beribadah kepada-Nya hanya karena kami mencintai-Nya’. Cara beribadah semacam ini adalah kesesatan. Karena sesungguhnya para nabi dan malaikat sebagai makhluk yang paling utama merasa takut kepada Allah dan mengharap kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu adalah bersegera dalam kebaikan dan berdoa kepada Kami dengan penuh rasa harap dan takut…” (al-Anbiyaa’ : 90) (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191)

Orang yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada harapan (roja’) maka dia termasuk penganut pemikiran Murji’ah yang hanya bersandar kepada harapan dan tidak takut akan dosa dan maksiat. Mereka mengatakan bahwa iman cukup dengan pembenaran dalam hati atau pembenaran hati dan diucapkan dengan lisan. Mereka juga mengatakan bahwa amal itu sekedar penyempurna dan pelengkap. Hal ini adalah kesesatan, karena sesungguhnya iman itu mencakup ucapan, amalan, dan keyakinan. Ketiga hal ini harus ada, tidak cukup dengan salah satunya saja (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 191-192)

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan bersandar kepada rasa takut (khauf) maka dia berada di atas jalan kaum Khawarij yang beribadah kepada Allah hanya dengan bertumpu pada rasa takut. Sehingga mereka hanya mengambil dalil-dalil yang berisi ancaman (wa’iid) dan pada saat yang sama mereka justru meninggalkan dalil-dalil yang berisi janji (wa’d), ampunan, dan rahmat. Ketiga kelompok ini yaitu Sufiyah, Murji’ah dan Khawarij adalah kelompok yang ekstrim/ghuluw dalam beragama (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)

Adapun jalan yang benar adalah beribadah kepada Allah dengan memadukan ketiga hal ini; cinta, harap, dan takut. Inilah iman. Inilah jalan kaum beriman. Inilah hakikat tauhid. Dan inilah yang terkandung dalam surat al-Fatihah. ‘alhamdulillah’ mengandung pilar kecintaan. ‘ar-rahmanir rahiim’ mengandung pilar harapan. Dan ‘maaliki yaumid diiin’ mengandung pilar rasa takut (lihat keterangan Syaikh al-Fauzan dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 192)

Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah” terkandung syarat ikhlas dalam beribadah. Karena di dalam kalimat ini objeknya dikedepankan -yaitu iyyaka– dan didahulukannya objek -dalam kaidah bahasa arab- menunjukkan makna pembatasan. Sehingga makna ‘iyyaka na’budu’ adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu dalam melakukan ketaatan, kami tidak akan memalingkan ibadah kepada siapa pun selain Engkau’ (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 18)

Adapun syarat ibadah harus sesuai tuntunan terkandung dalam kalimat ‘ihdinash shirathal mustaqim dst’. Hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali apabila sesuai dengan jalan yang lurus yaitu jalan yang diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim) (lihat Min Hidayati Suratil Fatihah karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 19)

Hakikat dari ibadah itu sendiri adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi kecintaan dan pengagungan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah itu adalah sumber kebahagiaan insan. Ibadah harus dikerjakan dengan ikhlas untuk Allah semata. Karena ibadah itu adalah hak khusus milik Allah. Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ telah terkandung penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Oleh sebab itu di dalam kalimat ini terkandung makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 22-23)

Di dalam ‘iyyaka na’budu’ pada hakikatnya juga terkandung dalil bahwasanya apabila ibadah tercampuri syirik maka ia tidak lagi menjadi ibadah yang benar untuk Allah. Dan ibadah semacam itu pun tidak akan diterima di sisi-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan amal seraya mempersekutukan bersama-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu) (lihat Ahkam Minal Qur’anil Karim, hal. 23)

Isti’anah (meminta pertolongan kepada Allah) adalah bagian dari ibadah. Meskipun demikian di dalam al-Fatihah ia disebutkan secara khusus setelah ibadah. Allah berfirman (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan/beristi’anah.” Hal ini menunjukkan betapa besarnya kebutuhan hamba untuk memohon pertolongan Allah dalam menjalankan semua ibadah. Karena sesungguhnya apabila Allah tidak menolongnya niscaya dia tidak akan bisa meraih apa yang dia kehendaki; apakah dalam hal melaksanakan perintah atau pun menjauhi larangan (lihat keterangan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah dalam Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Dengan menunaikan ibadah kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan-Nya hamba akan bisa meraih kebahagiaan yang abadi dan terselamatkan dari segala keburukan. Tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan menegakkan kedua hal ini; yaitu menegakkan ibadah kepada Allah dan selalu memohon bantuan kepada-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39)

Seorang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka na’budu’ maka dia akan terbebas dari riya’. Dan orang yang bisa merealisasikan kandungan dari ‘iyyaka nasta’in’ maka dia akan terbebas dari ujub (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 83)

————-

Alhamdulillah sementara ini sudah terkumpul donasi Graha al-Mubarok sebesar Rp.213 juta. Masih terbuka kesempatan untuk berdonasi. Semoga Allah memberikan balasan terbaik bagi segenap donatur.

Info lebih lengkap silahkan buka di sini [klik]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *