Bismillah.
Pada suatu hari, seorang pencari ilmu membuka kembali sebuah buku kecil yang disimpannya. Buku itu berjudul Aqidah Wasithiyah karya seorang ulama besar pembaharu Islam yang terkenal dengan sebutan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H).
Di dalam buku itu tertulis kapan dia membelinya, yaitu pada bulan Jumadal Ula 1422 H. Pada bagian awal buku ini tertulis catatan yang menjelaskan latar belakang penulisan buku ini oleh Ibnu Taimiyah.
Berikut ini isi catatan itu :
Adapun latar belakang penulisan dan penamaannya dengan al-Wasithiyah ialah bahwa seorang qadhi/hakim dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam dan memohon beliau untuk menulis tentang aqidah salafiyah yang beliau yakini. Maka, beliau rahimahullah menulisnya dalam tempo sekali jalsah (sekali duduk) seusai sholat ashar. Ini merupakan bukti nyata bahwa beliau rahimahullah memiliki ilmu yang luas dan dikaruniai oleh Allah kecerdasan dan keluasan ilmu yang mengagumkan. Dan itu tidaklah aneh, karena karunia Allah itu diberikan dan diharamkan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Agung kita memohon akan keutamaan dan kemuliannya.
Catatan ini dikutip oleh penulisnya dari Syarh Al ’Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani rahimahullah (versi terjemahan, penerbit Pustaka at-Tibyan)
Penuturan Penulis Kitab
Kemudian, pada tahun 1440 H si pencari ilmu itu pun membuka file pdf kitab berjudul Syarh Aqidah Wasithiyah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah -seorang ulama dari Mesir pembela aqidah Ahlus Sunnah- kemudian di dalam mukadimah pen-tahqiq kitab ditemukan penjelasan Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai sebab ditulisnya kitab ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menuturkan :
Suatu ketika datang kepada saya seorang qadhi/hakim dari daerah Wasith – di Iraq -seorang syaikh yang bernama Radhiyudin al-Wasithi. Beliau termasuk ulama bermazhab Syafi’i. Beliau menemui kami pada saat beliau menunaikan ibadah haji. Beliau adalah sosok yang baik dan taat beragama.
Beliau mengadukan apa-apa yang dialami oleh masyarakat di negeri tersebut dan di masa pemerintahan Tartar berupa merajalelanya kebodohan dan kezaliman, mulai lunturnya ajaran agama dan kemunduran ilmu. Beliau meminta kepada saya untuk menuliskan suatu aqidah sebagai pegangan baginya dan keluarganya, maka saya pun meminta maaf kepadanya atas hal itu.
Saya katakan, “Manusia/para ulama telah menulis banyak kitab aqidah, maka silahkan anda mengambil sebagian aqidah yang telah ditulis oleh para imam/ulama Ahlus Sunnah.” Maka beliau pun terus meminta saya agar menuliskannya, beliau berkata, “Saya tidak ingin kecuali kitab aqidah yang anda tulis.” Maka saya pun menulis kitab aqidah ini -Aqidah Wasithiyah- dalam keadaan saya sedang duduk setelah ashar, dan kini telah tersebar naskah/salinannya di Mesir, Iraq, dan negeri-negeri yang lainnya.
(lihat mukadimah Syarh Aqidah Wasithiyah, hlm. 8 karya Syaikh al-Harras)
Kandungan Kitab Aqidah Wasithiyah
Kitab Aqidah Wasithiyah sebuah kitab yang merangkum pokok-pokok aqidah Islam sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah dalam penjelasannya terhadap kitab ini menerangkan bahwasanya kitab ini mencakup tiga bagian besar; penjelasan aqidah secara umum yang meliputi keenam rukun iman, kemudian ia juga menjelaskan seputar perkara imamah serta amar ma’ruf nahi mungkar dan sikap terhadap para sahabat nabi, selain itu kitab ini juga menjelaskan tentang akhlak yang semestinya dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lihat al-La’aali al-Bahiyah, 1/15)
Saudaraku yang dirahmati Allah, beberapa nukilan singkat ini memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa perjuangan para ulama kita dalam menjelaskan aqidah ini adalah sebuah upaya yang tidak mengenal henti. Sebagaimana usaha untuk mempelajari agama pun tidak bisa berhenti. Butuh waktu yang panjang dan tidak sebentar untuk mendapatkan pemahaman.
Kita menyadari betapa sedikitnya ilmu yang kita miliki, bahkan kita terlahir dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Kemudian Allah anugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan dan hati agar kita mau bersyukur kepada Allah dengan nikmat-nikmat ini. Tanpa pertolongan Allah kita pun tidak akan bisa memahami agama. Apabila Allah berikan pemahaman agama kepada kita maka itu adalah tanda kebaikan yang harus dia syukuri dengan terus menimba ilmu dan mengamalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Malik rahimahullah menjelaskan tentang maksud ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang dalam ilmunya.” (Ali ‘Imran : 7) bahwa yang dimaksud orang yang dalam ilmunya adalah orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Apabila dia tidak mengamalkan ilmunya ia termasuk orang yang dikatakan tentangnya, ‘kita berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat’ (lihat Fiqh al-Jama’ah, hlm. 189)
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan menuliskan kitab aqidah ini merupakan cerminan kasih sayang beliau kepada umat manusia. Penolakan beliau di awal terhadap permintaan qadhi tersebut untuk menulis kitab menunjukkan bahwa sesungguhnya aqidah ini telah diterangkan oleh para ulama sebelumnya di dalam kitab-kitab mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan sifat tawadhu’ beliau dan penghargaan yang tinggi terhadap jasa para ulama terdahulu. Kemudian pada akhirnya Ibnu Tamiyah pun menuliskan kitab ini demi memenuhi permintaan qadhi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa beliau berdakwah untuk memenuhi kebutuhan umat terhadap penjelasan perkara agama yang banyak tidak diketahui oleh manusia. Beliau menulis untuk berdakwah, dan bukan semata-mata memperbanyak karya ilmiah apalagi untuk berbangga-bangga…
Keberkahan Ilmu Para Ulama
Demikianlah salah satu keutamaan yang ada pada para ulama salaf. Bahwa karya mereka diberkahi oleh Allah, meskipun ia ringkas dan tidak panjang lebar. Lihatlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah dengan al-Arba’in an-Nawawiyah, atau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan Ushul Tsalatsah dan Qawa’id Arba’-nya. Hal ini mengingatkan kami akan sebuah ucapan Imam Malik rahimahullah yang sering dinukil oleh teman-teman penimba ilmu, “Apa-apa yang ikhlas karena Allah niscaya itu akan kekal abadi.”
Begitu pula apa yang bisa kita saksikan di masa kini berupa buku-buku yang ditulis oleh para ulama semacam Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah -yang pada dasarnya itu adalah rekaman pelajaran yang kemudian ditranskrip dan dicetak sebagai buku- mereka berusaha untuk terus melanjutkan estafet perjuangan ilmiah dalam mendakwahkan kebenaran. Kitab-kitab yang ditulis para ulama ini bukan tidak bermakna, sebab kitab-kitab itu saling melengkapi dan merupakan tuntutan zamannya. Bukan karena mereka menilai kitab yang lain tidak bermanfaat.
Cobalah kita lihat apa yang disampaikan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. Ketika banyak orang meminta agar rekaman ceramah kajian Kitab Tauhid beliau ditranskrip dan diterbitkan sebagai kitab syarah, beliau mengatakan, “Dahulu saya menolak permintaan-permintaan itu dan saya beralasan bahwa kitab ini -segala puji bagi Allah- telah dijelaskan dalam banyak syarah dan sudah mencukupi. Dan saya tidaklah datang membawa sesuatu yang baru. Hanya saja ketika semakin banyak permintaan untuk itu maka saya katakan; mudah-mudahan dengan merealisasikan keinginan orang-orang yang mengusulkannya terdapat kebaikan…” (lihat I’anatul Mustafid, 1/15)
Saudaraku yang dirahmati Allah, mengenal aqidah Islam adalah nikmat yang sangat agung dan wajib kita syukuri. Jangan kira anda bisa mengenal aqidah ini hanya dengan bekal kekuatan dan kemampuan anda, bahkan itu semua adalah karunia dari Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Mujib bin Musa al-Ashbahani rahimahullah mengatakan : Suatu ketika aku menemani Sufyan ats-Tsauri dalam perjalanan menuju Mekah. Aku melihat dia sering sekali menangis. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, tangisanmu ini apakah ia disebabkan takut akibat dari dosa-dosa?!” maka dia pun mengambil sebilah kayu/tongkat dari atas kendaraan yang dia naiki lalu dia lemparkan. Dia berkata, “Sesungguhnya dosa-dosaku lebih ringan bagiku daripada perkara ini. Karena yang paling aku khawatirkan adalah apabila tauhid tercabut dari dalam diriku.” (HR. Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman) (lihat Syarh Kitab al-Urwah al-Wutsqa, hlm. 3-4 karya Syaikh Shalih bin Abdullah al-Ushaimi hafizhahullah)
Subhanallah! Apabila seorang ulama besar sekelas Sufyan ats-Tsauri saja merasa takut kalau-kalau nikmat tauhid ini tercabut dari dalam dirinya lantas bagaimana lagi dengan kita ini, wahai saudaraku!
Kami pernah berjumpa dengan seorang pemuda sederhana yang dengan tulus ingin belajar agama. Bertahun-tahun silam di sebuah pesantren ketika beliau bertemu dengan kami, ketika itu kami sedang ada keperluan di sana. Dan tidak terduga hari ini beliau telah menjadi seorang da’i dan pengajar tauhid dengan taufik dari Allah kepadanya, sungguh nikmat besar yang Allah berikan kepadanya. Inilah salah satu bukti kebenaran firman Allah (yang artinya), “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu berderajat-derajat.” (al-Mujadilah : 11). Semoga Allah memberkahi ilmu dan umur beliau…
Buah Mengenal Aqidah
Ilmu aqidah ini telah mengajarkan kepada kami untuk beriman kepada takdir. Ia mengajarkan kepada kami untuk tidak hasad kepada sesama manusia. Ia mengajarkan kepada kami untuk selalu bersandar kepada Allah dalam mendapatkan kebaikan atau menolak kemudharatan. Ia mengajarkan kepada kami untuk ikhlas beramal karena Allah, bukan demi mencari pujian manusia dan ucapan terima kasih dari mereka. Ia juga yang mengajarkan kepada kami untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah dan tidak merasa aman dari makar Allah. Semoga Allah merahmati guru-guru kami yang dari mereka kami mengenal aqidah dan tauhid dengan pemahaman salafus shalih…
Sungguh keliru orang yang mengira bahwa dengan belajar aqidah akan membentuk watak yang keras dan pemahaman yang ekstrim. Justru dengan mengenal aqidah Ahlus Sunnah akan menyadarkan seorang muslim tentang bahaya berbagai pemikiran dan aliran sesat. Aqidah inilah yang akan menunjukkan kepada kita bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang paling menyayangi umat manusia. Ibnu Qudamah membawakan hadits dengan sanadnya dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan dirahmati oleh ar-Rahman. Rahmatilah para penduduk bumi, niscaya Dzat yang berada di atas langit akan merahmati kalian.” (Itsbat Shifatil ‘Uluww no. 15)
Semoga sedikit kumpulan catatan dan uneg-uneg ini bermanfaat bagi kita.
Yogyakarta, Shafar 1441 H
Redaksi al-mubarok.com -semoga Allah berikan taufik kepadanya-