[9] Banyak Berdzikir Kepada Allah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih menyelamatkan dari azab Allah selain berdzikir kepada Allah.” (lihat Sunan Tirmidzi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir [5/459])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Lantas apakah yang akan menimpa seekor ikan jika dia memisahkan diri dari air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib oleh Imam Ibnul Qayyim, hal. 71)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hal itu [dzikir] adalah ruh dalam amal-amal salih. Apabila suatu amal tidak disertai dengan dzikir maka ia hanya akan menjadi ‘tubuh’ yang tidak memiliki ruh. Wallahu a’lam.” (lihat Madarij as-Salikin [2/441])
Berdzikir kepada Allah merupakan jalan untuk meraih kehidupan hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perbandingan antara orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari) (lihat al-‘Ibadat al-Qalbiyah, hal. 49)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu dzikir kepada Allah jalla wa ‘ala merupakan hakikat kehidupan hati. Tanpanya, hati pasti menjadi mati.” (lihat Fawa’id adz-Dzikri wa Tsamaratuhu, hal. 16)
Dzikir juga merupakan obat bagi kerasnya hati. Suatu saat ada seorang lelaki yang mengadu kepada Hasan al-Bashri rahimahullah. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan kepadamu kerasnya hatiku.” Maka beliau berkata, “Lunakkanlah ia dengan dzikir.” (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha oleh Dr. Ahmad Farid, hal. 46)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya dzikir kepada Allah akan menanamkan pohon keimanan di dalam hati, memberikan pasokan gizi dan mempercepat pertumbuhannya. Setiap kali seorang hamba semakin menambah dzikirnya kepada Allah niscaya akan semakin kuat pula imannya.” (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman, hal. 57)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak diantara hamba yang lebih mendapatkan manfaat dengan dzikir pada masa-masa permulaan daripada membaca [ilmu]. Karena dzikir akan memberikan pasokan keimanan baginya, sedangkan al-Qur’an memberikan pasokan ilmu; namun terkadang ilmu itu tidak bisa dia pahami. Sementara dirinya lebih membutuhkan pasokan iman daripada pasokan ilmu; dikarenakan ia masih berada pada jenjang permulaan. Meskipun demikian, membaca al-Qur’an dengan disertai pemahaman bagi orang yang cukup mapan imannya jauh lebih utama dengan kesepakatan [para ulama].” (lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh Da’wah ‘Inda Syaikhil Islam, hal. 202)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Tidaklah samar bagi setiap muslim tentang urgensi dzikir dan begitu besar faidah darinya. Sebab dzikir merupakan salah satu tujuan termulia dan tergolong amal yang paling bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Allah telah memerintahkan berdzikir di dalam al-Qur’an al-Karim pada banyak kesempatan. Allah memberikan dorongan untuk itu. Allah memuji orang yang tekun melakukannya dan menyanjung mereka dengan sanjungan terbaik dan terindah.” (lihat dalam Fiqh al-Ad’iyah wa al-Adzkar [1/11])
Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata, “Apakah susahnya bagi salah seorang dari kalian jika dia hendak memanfaatkan waktu satu jam setiap harinya untuk berdzikir kepada Allah sehingga dengan sebab itu sepanjang hari yang dilaluinya dia akan meraih keberuntungan.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 346)
‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah rahimahullah berkata, “Majelis-majelis dzikir adalah obat bagi hati.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 348)
‘Atho’ bin Maisarah al-Khurasani rahimahullah mengatakan, “Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis yang membahas hukum halal dan haram [majelis ilmu, pent].” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 348)
Makhul rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menghidupkan malamnya dengan dzikir kepada Allah niscaya pada pagi harinya dia akan berada dalam keadaan suci seperti ketika dilahirkan oleh ibunya.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 347)