[1] Berpegang Teguh Dengan Sunnah
Berpegang teguh dengan Sunnah dan menjauhi bid’ah adalah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan hakiki.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar dengan banyaknya orang yang binasa.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)
Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” (lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui manakah diantara kedua macam nikmat ini yang lebih utama; ketika Allah berikan hidayah kepadaku untuk memeluk Islam ataukah ketika Allah menyelamatkan aku dari hawa nafsu/bid’ah-bid’ah ini?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 601)
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu’anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan atsar.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang mencermati keadaan kaum ahli bid’ah secara umum, niscaya akan dia dapati bahwa sebenarnya sumber kesesatan mereka itu adalah karena tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Hal itu bisa jadi karena mereka bersandar kepada akal dan pendapat-pendapat, mimpi-mimpi, hikayat-hikayat/cerita yang tidak jelas, atau perkara lain yang dijadikan oleh kaum ahlul ahwaa’ [penyeru bid’ah] sebagai sumber dasar hukum bagi mereka.” (lihat at-Tuhfah as-Saniyyah Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kami meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan perbantahan, perdebatan, dan pertengkaran dalam urusan agama.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)
Abu Ja’far al-Baqir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu’anhuma maka sesungguhnya dia telah bodoh terhadap Sunnah/ajaran Nabi.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 466)
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Cintailah ahli bait Nabimu, namun janganlah kamu menjadi Rafidhi [Syi’ah]. Beramallah dengan al-Qur’an, namun janganlah kamu menjadi Haruri [Khawarij]. Ketahuilah, bahwa kebaikan apapun yang datang kepadamu adalah anugerah dari Allah. Dan apa pun yang datang kepadamu berupa keburukan adalah akibat perbuatanmu sendiri. Namun, janganlah kamu menjadi Qadari [penolak takdir]. Dan taatilah pemimpin [pemerintah] walaupun dia adalah seorang budak Habasyi.” (lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/146])