Ilmu Sebelum Iman dan Amal Salih

5d30bf88fc54debc1e43c12e259c9711

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr : 1-3)

Di dalam surat ini, Allah ta’ala mengabarkan bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang memiliki empat sifat; iman, amal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.

Sementara iman itu sendiri tidaklah bisa terwujud dengan benar tanpa ilmu. Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah menjelaskan, “Iman tidak akan terwujud kecuali apabila disertai dengan ilmu.” (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 8)

Oleh sebab itu, Allah ta’ala berfirman dalam ayat (yang artinya), “Maka ketahuilah/milikilah ilmu, bahwa tiada sesembahan -yang hak- selain Allah, dan mintalah ampunan bagi dosa-dosamu…” (QS. Muhammad : 19. Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah menerangkan, bahwa “Ilmu yang diperintahkan oleh Allah di sini maksudnya adalah ilmu tauhid…” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 14)

Para ulama ahlus sunnah telah menegaskan, bahwa iman itu terdiri dari ucapan, amalan, dan keyakinan. Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Apakah makna iman dalam pandangan ahlus sunnah? Iman dalam pandangan mereka adalah ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, dan amalan dengan anggota badan…” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 30)

Sementara ucapan, keyakinan, dan amalan tidak mungkin lurus dan benar kecuali harus sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “..karena sesungguhnya ucapan dan amalan tidaklah menjadi benar dan diterima kecuali apabila selaras dengan syari’at. Dan tidak mungkin seorang insan bisa mengetahui apakah amalnya sesuai dengan syari’at kecuali dengan ilmu…” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 28)

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Iman harus mencakup ketiga perkara ini; keyakinan, ucapan, dan amalan. Tidak cukup hanya dengan keyakinan dan ucapan apabila tidak disertai dengan amalan. Dan setiap ucapan dan amalan pun harus dilandasi dengan niat. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits, “Sesungguhnya setiap amalan itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907). Begitu pula, bersatunya ucapan, amalan, dan niat tidaklah bermanfaat kecuali apabila berada di atas landasan Sunnah. Karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka pasti tertolak.” (Muttafaq ‘alaih). Dalam lafal Muslim disebutkan juga, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan dari tuntunan kami maka pasti tertolak.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairawani, hal. 145)

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “.. Kedudukan ilmu di dalam iman adalah laksana ruh bagi seluruh badan, tidak akan tegak pohon keimanan kecuali di atas pilar ilmu dan ma’rifat/pemahaman…” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 89)

al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)

Oleh sebab itu, syahadat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali apabila dilandasi dengan ilmu yang tertancap kuat di dalam hati. Para ulama menyebutkan, bahwa diantara syarat kalimat syahadat ini adalah harus dilandasi ilmu.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Syarat pertama yaitu berilmu/mengetahui maknanya, dari sisi penolakan -sesembahan selain Allah- maupun dari sisi penetapan -bahwa hanya Allah sesembahan yang haq- sehingga barangsiapa yang mengucapkan syahadat ini sementara dia tidak mengetahui makna dan konsekuensinya maka kalimat itu tidak bermanfaat baginya. Karena dia tidak meyakini kandungan yang ada di dalamnya; seperti orang yang berbicara dengan suatu bahasa yang tidak dia pahami.” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 27)

al-Mu’allimi rahimahullah berkata, “Dalil al-Kitab, as-Sunnah, ijma’, dan akal telah menunjukkan bahwasanya tidaklah cukup hanya dengan mengucapkannya -kalimat syahadat- tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalamnya.” (lihat Syahadatu An Laa Ilaha Illallah karya Syaikh Dr. Shalih bin Abdul Aziz Sindi, hal. 73)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan, bahwa salah satu syarat untuk bisa merealisasikan tauhid adalah ilmu. Beliau berkata, “Merealisasikan tauhid itu artinya membersihkannya dari syirik, dan hal itu tidak bisa terlaksana kecuali dengan tiga perkara, pertama; ilmu. Karena tidak mungkin anda bisa mewujudkan sesuatu sebelum anda mengetahuinya…” (lihat al-Qaul al-Mufid, 1/55)

Berdasarkan keterangan-keterangan para ulama di atas, kita semakin bisa memahami maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya niscaya Allah pahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menerangkan, “Yang dimaksud dengan istilah fiqih/kepahaman dalam agama itu meliputi kepahaman tentang pokok-pokok agama, yaitu apa-apa yang disebut oleh sebagian ulama dengan istilah fikih akbar yang maksudnya adalah ilmu akidah. Selain itu, ia juga mencakup ilmu tentang hukum-hukum dan rincian-rincian syari’at serta segala sesuatu yang berkaitan dengan mu’amalah. Termasuk di dalamnya juga adalah ilmu tentang adab dan akhlak. Maka itu semuanya telah tercakup di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam urusan agama.”.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 34-35)

Syaikh Abdurrazzaq hafizhahullah juga menjelaskan, “Dengan ilmu itulah akan dikenali tauhid dan iman, dengan ilmu pula akan dimengerti pokok-pokok keimanan dan syari’at-syari’at Islam, dengan ilmu juga akan diketahui akhlak-akhlak yang luhur dan adab-adab yang sempurna, dan dengan ilmu itu pula manusia terbedakan satu dengan yang lainnya…” Kemudian beliau menyebutkan dua ayat berikut ini (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 42)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?” (QS. Az-Zumar : 9)

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebagai kebenaran sama halnya dengan keadaan orang yang dia adalah buta?” (QS. Ar-Ra’d : 19)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan orang yang bodoh/tidak berilmu sebagaimana keadaan orang-orang yang buta, yang mereka itu tidak bisa melihat apa-apa…” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 23).

Terlebih lagi, ilmu tentang Allah alias tauhid dan akidah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maksudnya, ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98)

Ilmu tentang Allah inilah yang biasa disebut para ulama dengan istilah ushuluddin/pokok-pokok agama. Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “Kebutuhan segenap hamba kepada ilmu ini -pokok-pokok agama- di atas segala kebutuhan. Keterdesakan mereka terhadap ilmu ini di atas segala perkara yang mendesak. Kebutuhan mereka terhadap ilmu ini di atas kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Bahkan jauh lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada nafas yang berhembus diantara kedua sisi tubuh setiap insan. Karena apabila seorang insan kehilangan makanan, minuman, dan nafas, matilah jasad. Sementara kematian itu pasti dialaminya. Dan tidaklah membahayakan matinya jasad apabila hatinya selamat. Adapun apabila hamba kehilangan/tidak memiliki ilmu tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, ilmu tentang syari’at dan agama-Nya, niscaya matilah hati dan ruh yang ada di dalam dirinya.” (lihat al-Hidayah ar-Rabbaniyah, hal. 7)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang memiliki bekas-bekas/dampak yang baik serta keutamaan yang beraneka ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akherat itu semua merupakan buah dari tauhid dan keutamaan yang muncul darinya.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 16)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah juga berkata, “Segala kebaikan yang segera -di dunia- ataupun yang tertunda -di akherat- sesungguhnya merupakan buah dari tauhid, sedangkan segala keburukan yang segera ataupun yang tertunda maka sesungguhnya itu merupakan buah/dampak dari lawannya….” (lihat al-Qawa’id al-Hisan al-Muta’alliqatu Bi Tafsir al-Qur’an, hal. 26)

Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah berkata, “… sesungguhnya memperhatikan perkara tauhid adalah prioritas paling utama dan kewajiban paling wajib. Sementara meninggalkan dan berpaling darinya atau berpaling dari mempelajarinya merupakan bencana terbesar yang melanda. Oleh karenanya, menjadi kewajiban setiap hamba untuk mempelajarinya dan mempelajari hal-hal yang membatalkan, meniadakan atau menguranginya, demikian pula wajib baginya untuk mempelajari perkara apa saja yang bisa merusak/menodainya.” (lihat asy-Syarh al-Mujaz, hal. 8)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.” (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 41)

[al-mubarok.com]

:: Ingin Belajar Bahasa Arab dan Tauhid Dari Jarak Jauh?

:: Ingin Belajar Baca Kitab Dari Nol?

:: Ingin Belajar Tahsin al-Qur’an?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *