Hakikat Tawakal Kepada Allah

Home-Decorating1

Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya; Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, serta segenap para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti petunjuknya, berjalan di atas jalannya, dan berpegang teguh dengan sunnahnya hingga hari kiamat.

Adapun sesudah itu. Sesungguhnya tawakal adalah salah satu bentuk ibadah yang paling agung. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah semata hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang beriman.” (Al-Ma’idah : 23). Allah menjadikan tawakal kepada Allah sebagai syarat keimanan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada nabi-Nya ‘alaihis sholatu was salam (yang artinya), “Apabila kamu telah bertekad bulat, bertawakallah kepada Allah.” (Ali ‘Imran : 159)

Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai Nabi, cukuplah bagimu Allah, dan juga bagi orang-orang beriman yang mengikutimu.” (Al-Anfal : 64)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan untuknya jalan keluar, dan Allah berikan kepadanya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Dia (Allah) mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Sungguh Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadar/takdirnya.” (Ath-Thalaq : 2-3).

Di dalam ayat ini Allah mengiringkan tawakal dengan takwa.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah berikan baginya kemudahan dalam urusannya. Itulah ketetapan Allah yang diturunkan oleh-Nya untuk kalian. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah hapuskan untuknya dosa-dosanya dan Allah lipatgandakan pahala untuknya.” (Ath-Thalaq : 4-5)

Sebagaimana Allah mengiringkan tawakal dengan ibadah dalam firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada-Nya dan bertawakallah juga kepada-Nya.” (Hud : 123)

Allah memerintahkan untuk bertawakal dan memuji pelakunya. Allah juga memberitakan bahwa Allah mencintai orang-orang yang bertawakal dalam banyak ayat. Ini semuanya menjadi bukti akan pentingnya tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Tawakal kepada Allah merupakan amalan hati, ia termasuk dalam kategori ibadah hati. Tawakal kepada Allah bukan dengan anggota badan atau anggota tubuh. Akan tetapi tawakal itu berada di dalam hati sebagaimana halnya takut, khosy-yah, roghbah/harapan, rohbah/khawatir, takwa; ini semuanya adalah amal-amal hati.

——

Kedudukan tawakal sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama,
“Tawakal di dalam agama laksana kepala di dalam tubuh.”

Ini artinya, orang yang tidak memiliki tawakal adalah orang yang tidak memiliki agama, seperti halnya tubuh yang tidak memiliki kepala.

Satu hal yang dimaklumi, bahwa tubuh apabila kehilangan kepala maka ia telah kehilangan kehidupannya. Demikian pula halnya agama -pada diri seorang- apabila kehilangan tawakal maka ia menjadi agama yang kehilangan kesehatan dan kelurusannya, sehingga ia tidak bisa menjadi agama yang lurus/baik.

Tawakal kepada Allah memiliki kedudukan/maqam yang agung diantara tingkatan-tingkatan penghambaan kepada Allah ‘azza wa jalla. Allah membedakan dan mengistimewakan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan selain mereka adalah dalam hal tawakal ini.

Barangsiapa yang tidak bertawakal kepada Allah sama sekali maka dia adalah orang kafir.

Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah dan kepada selain Allah maka dia adalah orang musyrik.

Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah semata maka dialah orang yang benar-benar bertauhid lagi beriman yang dicintai Allah dan diridhai amal dan ucapannya; hal itu disebabkan dia telah membangun (agamanya) di atas dasar/pondasi yang benar.

——-

Makna Tawakal Kepada Allah

Tawakal kepada Allah maknanya adalah; menyerahkan segala urusan kepada-Nya, bersandar kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dalam segala urusannya, dan menyerahkan urusan-urusannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dimana dia tidak lagi berpaling/menggantungkan urusan kepada selain-Nya.

Tawakal kepada Allah ini tercakup di dalam perkara akidah/keyakinan; dimana seorang hamba tidak lagi bersandar kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga dia senantiasa bersandar kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menyerahkan urusan kepada Allah dalam segala urusan yang dihadapinya.

Adapun perkara-perkara yang terjadi pada kaum musyrikin berupa syirik kepada Allah ‘azza wa jalla dan kekafiran, maka tidaklah hal itu terjadi melainkan disebabkan mereka bertawakal kepada selain-Nya ‘azza wa jalla. Mereka menyerahkan urusan-urusan mereka kepada selain Allah. Mereka meyakini bahwa -sesembahan- selain Allah subhanahu wa ta’ala dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, memberi jalan keluar atas masalah yang menimpa, dan menyingkirkan marabahaya.

Oleh sebab itu, mereka -orang-orang musyrik- bersandar kepada patung-patung, berhala-berhala, pohon-pohon, batu-batu, kuburan-kuburan, tempat keramat, atau orang yang sudah meninggal. Mereka bersandar kepada makhluk dalam hal-hal yang tidak dikuasai kecuali oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka jadilah mereka beristighotsah/memohon keselamatan kepada sesembahan-sesembahan itu, menyembelih untuk mereka, bernadzar untuk mereka, dan menujukan kepada mereka berbagai bentuk ibadah. Karena mereka telah bersandar kepada sesembahan-sesembahan itu, bukan kepada Allah ‘azza wa jalla.

Mereka mengira, bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa mendatangkan manfaat bagi mereka, bisa mendatangkan mudhorot atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itulah mereka kufur kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mereka bergantung kepada selain-Nya. Mereka bertawakal kepada selain-Nya, dan menujukan keyakinan dan ibadah mereka kepada [sesembahan] selain-Nya ‘azza wa jalla.

Asas/sumber kesyirikan adalah bertawakal kepada selain Allah dan bersandar kepada selain Allah. Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah : 23)

Para ulama menjelaskan, bahwa disebutkannya objek terlebih dulu -di dalam ayat ini- yaitu ‘kepada Allah’ memberikan makna pembatasan. Maksudnya adalah ‘bertawakallah kalian kepada Allah semata, jangan kepada selain-Nya’.

Ini artinya, Allah ‘azza wa jalla membatasi tawakal hanya boleh ditujukan kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya.

“Kepada Allah semata.” artinya ‘tidak kepada selain-Nya’, “Maka bertawakallah kalian, jika kalian benar-benar orang yang beriman”.

Ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan tanda keimanan dan tanda ketauhidan itu ada di dalam tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun orang yang mengira bahwa dirinya mukmin dan muwahid/ahlu tauhid sementara dia bertawakal kepada selain Allah apakah itu berupa batu, pohon, patung, kuburan, orang mati, dan lain sebagainya; maka persangkaan/pengakuannya itu adalah dusta, karena dia bukanlah orang mukmin; dimana dia telah bertawakal kepada selain Allah ‘azza wa jalla dalam urusan-urusannya.

Tawakal kepada Allah itu pun berlaku ketika orang berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam masalah keduniaan. Ketika dia mencari rizki, menghalau musuh, mencegah gangguan/penyakit, atau menghindar dari marabahaya yang akan menimpa dirinya.

Hal ini menunjukkan bahwasanya tawakal kepada Allah berlaku dalam urusan-urusan agama dan juga urusan-urusan dunia. Oleh sebab itulah, seharusnya anda bergantung kepada Allah ‘azza wa jalla pada urusan akidah dan tauhid anda, anda harus bergantung kepada Allah ‘azza wa jalla dalam rangka mencapai kebutuhan-kebutuhan anda.

Bahkan, walaupun hal itu adalah urusan-urusan yang berkaitan dengan keduniaan seperti makan dan minum, pakaian, ataupun terpenuhinya berbagai tujuan yang hendak diraih. Demikian pula hendaknya jadikanlah tawakal anda senantiasa kepada Allah ‘azza wa jalla dan anda terus bersandar kepada-Nya dalam semua urusan anda.

Tawakal tidak hanya terbatas dalam perkara akidah dan urusan tauhid, bahkan dalam urusan-urusan dunia sekalipun atau dalam upaya mencari rizki. Jangan bersandar kepada selain Allah dalam menggapai tujuan/cita-cita apa pun. Karena semua urusan ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Di tangan-Nya semata pertautan segala perkara di langit dan di bumi, karena itu wajib bagi anda untuk bertawakal kepada-Nya.

Seluruh kebutuhan dan keperluan hamba berada di tangan-Nya subhanahu wa ta’ala. Lantas bagaimana mungkin seorang insan justru bertawakal dan bersandar kepada selain Allah dalam hal urusan agama dan dunianya? Tidaklah diragukan bahwa sikap semacam ini termasuk dalam kebodohan dan perbuatan/sikap berpaling dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, tawakal menempati salah satu kedudukan/maqam yang paling agung dalam ubudiyah/penghambaan.

Tawakal Kepada Allah dan Menempuh Sebab

Kemudian selain hal-hal di atas, perlu dimengerti pula bahwasanya tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah artinya meninggalkan sebab-sebab/tidak berusaha dan semata-mata menyerahkan urusan kepada Allah.

Tidak bisa kita tinggalkan upaya mencari rizki dengan alasan, “Jika Allah menghendaki rizki untuk kami pasti ia akan datang dan kami cukup duduk-duduk saja.”

Tidak bisa juga kita tinggalkan upaya mencari ilmu dengan alasan, “Jika Allah menghendaki ilmu untuk kami niscaya ia akan datang dengan sendirinya sementara kami duduk-duduk saja di rumah kami.”

Sebagaimana juga tidak bisa kita tinggalkan segala hal yang bermanfaat yang semestinya kita lakukan dengan alasan, “Jika Allah menakdirkan untuk kami hal itu niscaya ia akan datang dengan sendirinya tanpa usaha.” Tentu ini adalah kekeliruan yang sangat besar.

Hal ini menunjukkan, bahwasanya kita harus menggabungkan antara kedua hal ini; tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan juga melakukan sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat/kebaikan. Oleh sebab itulah, seorang insan harus melakukan upaya-upaya dalam rangka mencari rizki sembari bertawakal kepada Allah dalam usahanya meraih apa yang dia inginkan.

Seorang insan -misalnya- menanam tanaman dalam keadaan dirinya juga bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam memelihara tanaman-tanaman itu dan merawatnya supaya menghasilkan buah, dan menjaganya dari serangan penyakit/hama. Dia bertawakal kepada Allah ketika memetik hasil dan manfaat dari tanaman yang dia pelihara.

Dengan demikian, anda tetap harus menanam tanaman, menebar benih, mengairi tanaman itu, dan mengawasinya secara rutin, seraya anda juga bertawakal kepada Allah ‘azza wa jalla pada saat menjaga, menumbuhkan dan merawatnya hingga berbuah dan dalam upaya-upaya anda supaya tanaman yang anda pelihara benar-benar bisa membuahkan hasil saat dipanen dan membuahkan keuntungan bagi anda.

Begitu pula halnya, jika ada seorang insan yang tidak menikah lantas dia beralasan, “Ini adalah bagian dari tawakal. Jika Allah menghendaki saya punya anak-anak niscaya mereka akan datang begitu saja tanpa saya perlu menikah.” Maka kita katakan, “Ini jelas sebuah kekeliruan.”

Tidak ada seorang berakal yang mengatakan ucapan seperti itu, apalagi seorang yang beriman.

Allah menjadikan segala hal memiliki sebab dan sarana. Menikah merupakan sebab atau jalan untuk mendapatkan keturunan dan lahirnya anak. Allah pun memerintahkan untuk menempuh sebab-sebab/sarana dan usaha oleh sebab itu anda juga harus tetap menempuh jalur/sebab yang dibenarkan.

Menikah adalah sebab dan ini merupakan bagian dari perbuatan anda. Anda yang harus melakukan dan berusaha mencarinya. Adapun lahirnya anak, ini adalah karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala dan ini sebagai buah dari usaha itu. Ini artinya, hasil itu berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala sedangkan sebab/jalannya berasal dari usaha anda.

Maka kedua hal ini harus digabungkan; melakukan sebab/usaha dan bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun orang yang hanya bersandar kepada sebab dan tidak bersandar kepada Allah atau bersandar kepada tawakal namun tidak melakukan sebab-sebab/usaha maka keduanya adalah tindakan yang keliru dan salah.

Oleh sebab itu para ulama rahimahumullah mengatakan, “Bersandar kepada sebab saja adalah syirik, sedangkan meninggalkan sebab adalah cela bagi syari’at.” Karena syariat telah memerintahkan untuk menempuh sebab sehingga meninggalkannya adalah tindakan yang menodai tatanan syari’at dan meninggalkan perintah Allah jalla wa ‘ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka carilah di sisi Allah rizki itu, dan beribadahlah kepada-Nya.” (Al-’Ankabut : 17)

Firman-Nya “Maka carilah di sisi Allah rizki itu.” Artinya carilah rizki, dan jangan hanya duduk di masjid dan mengira bahwa itu merupakan sikap tawakal. Jangan hanya duduk di rumah sementara kalian mengira rizki akan masuk begitu saja ke rumah kalian tanpa usaha; ini adalah kekeliruan. Tidak ada seorang mukmin yang mengatakan demikian.

[Bersambung insya Allah…]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *