Sesungguhnya hakikat seorang hamba itu terletak pada hati dan ruhnya. Sementara hati dan ruh itu tidak akan baik kecuali dengan menghamba kepada Tuhannya yaitu Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya. Maka dia tidak akan merasakan ketenangan di dunia ini kecuali dengan berdzikir kepada-Nya. Jiwanya akan terus berusaha menggapai keridhoan-Nya dan ia pasti akan bertemu dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya itu pasti. Dan tidak ada kebaikan baginya kecuali dengan bertemu dengan-Nya.
Seandainya seorang hamba bisa merasakan suatu kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan kekal. Akan tetapi hal itu akan berpindah dari satu bentuk kesenangan menuju kesenangan yang lain, dari satu individu kepada individu yang lain. Pada suatu waktu dia akan bisa merasakan kesenangan dengan hal ini; pada sebagian keadaan. Namun, dalam kondisi lain hal itu yang semula membuatnya senang berubah menjadi tidak menyenangkan dan tidak mendatangkan kenikmatan baginya. Bahkan terkadang berurusan dengannya justru membuatnya tersiksa. Keberadaannya justru mengganggu dan mendatangkan bahaya baginya.
Adapun ilah/sesembahannya -yaitu Allah- maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam kondisi apa pun dan pada waktu kapanpun. Dimana pun berada maka Dia pasti bersamanya. Oleh sebab itu panutan kita Ibrahim ‘alaihis salam sang kekasih Allah mengatakan (yang artinya), “Aku tidak menyukai apa-apa yang tenggelam.” (al-An’am : 76). Sebagaimana ayat paling mulia di dalam al-Qur’an al-Karim ialah firman-Nya (yang artinya), “Allah Yang tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Dia; Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri.” (al-Baqarah : 255)
Sumber : Ikramul Muwahhidin karya Syaikh Abdullah al-‘Ubailan, hal. 238-239
Keterangan :
Penjelasan di atas menggambarkan kepada kita mengenai besarnya kebutuhan manusia kepada Allah. Kebutuhan dirinya untuk mengabdi dan mentauhidkan-Nya. Kebutuhan manusia kepada tauhid itu jauh lebih besar daripada kebutuhannya kepada segala sesuatu. Sebagaimana manusia membutuhkan makanan dan minuman, maka kebutuhan manusia kepada tauhid dan iman bahkan jauh lebih besar dan lebih mendesak dari segala kebutuhan.
Karena sesungguhnya kebaikan seorang insan hanya akan terwujud dengan penghambaan dan ketaatan kepada Rabbnya, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Tidak akan baik keadaan dan urusannya kecuali dengan berdzikir kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya. Sebesar apa pun kenikmatan dan kesenangan yang dirasakan olehnya dengan suatu perkara; apakah itu makanan, minuman, tempat tinggal, fasilitas, kendaraan, teman, pasangan hidup, dan lain sebagainya, maka sesungguhnya itu semuanya tidaklah kekal dan bertahan lama. Kesenangannya akan berpindah dari suatu benda kepada benda lainnya, akan berpindah dari satu individu kepada individu yang lainnya. Dimana bisa jadi pada sebagian keadaan dia merasakan kesenangan bersamanya akan tetapi di waktu lainnya hal itu justru membahayakan dan merusak dirinya.
Adapun Allah maka dirinya senantiasa membutuhkan-Nya pada segala keadaan. Baik ketika dia tertimpa kesenangan ataupun ketika dia tertimpa kesusahan. Ketika dia berada dalam kondisi sehat maupun berada dalam kondisi sakit. Ketika dia sedang bersama orang ataupun ketika sedang bersendirian. Ketika dia sibuk dalam amal salih dan ketaatan ataupun ketika dia terjerumus dalam jurang dosa dan kedurhakaan. Dia selalu butuh kepada Allah. Karena Allah lah sesembahan dan tumpuan hatinya, tujuan harap dan takutnya, Dzat yang paling dicintai dan dibutuhkannya. Allah selalu mengawasi dirinya. Allah telah sediakan pahala dan ampunan untuk kebaikan dan Allah siapkan siksa untuk dosa dan kemaksiatan yang dia lakukan.
Oleh sebab itu kebutuhan seorang hamba kepada tauhid adalah kebutuhan yang tidak bisa ditunda-tunda. Tidak bisa disepelekan dengan alasan apa saja. Sebab tauhid itulah tujuan dan hikmah penciptaan dirinya. Bagaimana mungkin seorang hamba bisa merasakan kepuasan dan kenikmatan di alam dunia sementara hatinya mempersekutukan-Nya, bergantung kepada selain-Nya, cinta dan benci karenanya, takut dan harap kepadanya.
Malik bin Dinar rahimahullah pernah mengatakan, “Para pemuja dunia telah pergi meninggalkan dunia dalam keadaan belum menikmati sebuah kelezatan yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah sesuatu yang paling lezat itu, wahai Abu Yahya?” maka beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Tauhid inilah hak Allah atas setiap hamba-Nya. Apabila mereka tidak menunaikan hak Allah ini sungguh mereka telah melakukan sebuah kezaliman yang amat nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian syirik -yaitu beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya- adalah sebuah kejahatan luar biasa dalam lembaran sejarah peradaban umat manusia. Sebuah kejahatan yang layak diberikan hukuman terberat bagi pelakunya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Sebuah kezaliman yang mengantarkan pelakunya menuju azab neraka dan mengunci pintu surga untuknya selama-lamanya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (al-Ma’idah : 72)
Kita ingin mengingatkan kepada saudara-saudara kita para pejuang hak asasi manusia dan pembela kaum tertindas dan teraniaya; siapakah yang lebih agung dan lebih mulia untuk dibela : Allah yang menciptakan langit dan bumi ataukah manusia dan makhluk ciptaan-Nya? Apabila manusia wajib marah dan murka karena kejahatan korupsi, narkoba, terorisme, dan kejahatan-kejahatan berat lainnya, bukankah mereka lebih layak -dan lebih wajib- untuk marah dan murka atas segala bentuk perbuatan syirik dan kekafiran kepada Allah Rabb penguasa alam semesta?! Padahal syirik itulah yang menjadi sumber kesengsaraan hidup dan biang malapetaka bagi umat manusia…
Ingatlah, wahai saudaraku yang mulia, sebagaimana hati tidak akan bisa hidup tentram tanpa dzikir kepada Allah maka sesungguhnya hidup kita pun tidak akan bernilai kecuali dengan tauhid kepada-Nya. Kita mungkin sering merasa sedih karena harta berkurang, ditinggal pergi orang yang kita cintai, dicabutnya sebagian nikmat kesehatan, atau karena kekurangan air, dilanda kekeringan dan paceklik. Akan tetapi kita tidak bersedih alias merasa baik-baik saja ketika iman kita tercabik-cabik, tauhid kita ternodai, dan hati kita dijajah oleh setan dari berbagai penjuru.
Sudah seharusnya kita berdoa kepada Allah untuk memperbaiki hati kita dan meneguhkannya di dalam ketaatan kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah kepada hati kami ketakwaannya. Sucikanlah ia, Engkau lah Dzat yang terbaik dalam membersihkannya. Engkau lah penguasa dan penolong atasnya. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan kezaliman yang sangat besar, dan tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah hamba dengan limpahan maghfirah dari sisi-Mu. Dan sayangilah hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Allah, perbaikilah urusan kami semuanya, dan janganlah Engkau sandarkan kami kepada diri-diri kami walaupun hanya sekejap mata…
—