Faidah Tafsir al-Fatihah [bagian 2]

Materi :

– Keutamaan al-Fatihah

– Nama Lain Surat al-Fatihah

– Intisari Surat al-Fatihah

Keutamaan Surat al-Fatihah

> al-Fatihah Surat Paling Agung di dalam al-Qur’an

Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung di dalam al-Qur’an, sebelum kamu keluar masjid?”. Lalu beliau menggandeng tanganku, ketika kami hendak keluar aku berkata, “Wahai Rasulullah! Tadi anda berkata: Aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam al-Qur’an?”. Beliau pun bersabda, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (surat al-Fatihah), itulah tujuh ayat yang diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan bacaan yang agung (al-Qur’an al-‘Azhim) yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari)

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan di dalam Taurat, Injil, maupun al-Qur’an, sesuatu yang menyamai Ummul Kitab; yaitu as-Sab’u al-Matsani.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengaruniakan kepadamu (Muhammad) as-Sab’u al-Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan al-Qur’an al-‘Azhim (bacaan yang agung).” (al-Hijr: 87)

Para ulama semacam Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Ibnu Abi Mulaikah, Hasan al-Bashri, Mujahid, Qotadah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Hajar, dan lain-lain menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan as-Sab’u al-Matsani adalah surat al-Fatihah (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/382] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah, Fath al-Bari [8/184] cet. Dar al-Hadits, Syarh as-Sunnah [3/50] cet. al-Maktab al-Islami, dan lain-lain)

> Membaca al-Fatihah termasuk Rukun Sholat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan sholat dan tidak membaca Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) di dalamnya maka sholat itu pincang.” Beliau mengatakannya tiga kali. Pincang maksudnya adalah tidak sempurna (HR. Muslim dalam Kitab ash-Sholah [395])

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan Sahabat maupun sesudah mereka berpendapat bahwasanya tidak sah sholat tanpa membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) apabila orang itu bisa membacanya. Diantara mereka adalah ‘Umar, ‘Ali, Jabir, ‘Imran bin Hushain, dan para Sahabat yang lain. Inilah yang dianut oleh Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (lihat Syarh as-Sunnah [3/46] cet. al-Maktab al-Islami)

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah).” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Adzan [756] dan Muslim dalam Kitab ash-Sholah [394]). Dalam riwayat Muslim juga diriwayatkan dengan lafal, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Ummul Qur’an.”

> al-Fatihah bisa Untuk Meruqyah

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah kabilah arab. Mereka meminta disambut sebagai tamu, tetapi permintaan itu ditolak oleh kabilah tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin kabilah terkena sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya dan meruqyahnya dengan Fatihatul Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah sejumlah kambing sebagai upah atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.” Beliau pun tersenyum seraya bersabda, “Darimana kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka, dan sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Dahulu kami biasa melakukan ruqyah/jampi-jampi di masa jahiliyah. Maka kami pun mengadukan hal itu, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda tentang hal itu?”. Beliau menjawab, “Tunjukkan kepadaku bagaimana bacaan ruqyah kalian. Tidak mengapa meruqyah selama tidak mengandung unsur kesyirikan.” (HR. Muslim). Hadits di atas menunjukkan bahwa ruqyah yang terlarang adalah ruqyah yang mengandung unsur kesyirikan atau yang tidak mengikuti tuntunan syari’at.

Dari Abdul Aziz, dia berkata: Aku dan Tsabit datang menemui Anas bin Malik radhiyallahu’anhu. Tsabit berkata, “Wahai Abu Hamzah, aku sedang sakit.” Anas berkata, “Maukah aku ruqyah engkau dengan bacaan ruqyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dia menjawab, “Iya tentu saja.” Anas pun membaca, “Allahumma Rabban naasi, Mudzhibal baasi. Isyfi anta asy-Syaafii. Laa syaafiya illa anta. Syifaa’an laa yughaadiru saqoma.” (HR. Bukhari)

Para ulama membolehkan ruqyah apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Bacaan ruqyah itu berasal dari ayat al-Qur’an atau bacaan yang dituntunkan di dalam as-Sunnah, atau dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah
  2. Diucapkan dengan bahasa Arab dan jelas maknanya
  3. Tidak boleh mengandung unsur hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya berisi doa kepada selain Allah, meminta keselamatan kepada jin atau yang semacam itu
  4. Harus diyakini bahwa bacaan itu tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya tetapi bergantung kepada takdir Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 108 cet. Dar at-Tauhid, penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/117] cet. Maktabah al-‘Ilmu, dan keterangan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [4/525] [10/220] cet. Dar al-Hadits)

Nama Lain Surat al-Fatihah

Surat al-Fatihah juga dinamai dengan Ummul Qur’an atau Ummul Kitab (induknya al-Qur’an). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ummul Qur’an itu adalah tujuh ayat yang sering diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan al-Qur’an al-‘Azhim (bacaan yang agung).” (HR. Bukhari)

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah mengatakan, “Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) disebut dengan Ummul Kitab karena ia merupakan permulaan Kitab (al-Qur’an).” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/28]).

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan mengapa al-Fatihah disebut dengan Ummul Qur’an, “Karena surat ini mengandung [intisari] segala ilmu al-Qur’an.” (lihat Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram [1/663] cet. Dar al-Atsar karya Syaikh Abdullah al-Bassam)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at telah terkandung di dalam surat ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh al-Mumti’ [2/82])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ia juga disebut dengan Ummul Qur’an/Induk al-Qur’an; sebab induk dari sesuatu itu adalah pokok/sumber yang menjadi tempat kembali/rujukan sesuatu tersebut. Makna-makna ayat al-Qur’an semuanya kembali kepada apa yang terkandung di dalam surat ini.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar al-Imam Ahmad, lihat keterangan serupa dalam Fath al-Bari [8/181] cet. Dar al-Hadits)

Intisari Surat al-Fatihah

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Ketika mengomentari Iyyaka na’bdu wa iyyaka nasta’in, Qatadah rahimahullah berkata, “Allah memerintahkan kalian untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan supaya kalian meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusan kalian.” Ayat ini bermakna “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakal kecuali kepada-Mu.” (lihat Tafsir Surah al-Fatihah oleh Syaikh Abdullah bin Ibrahim, hal. 19, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34])

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kita memohon kepada Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwasanya Dia akan membantu kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (Hud: 123). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (Hud: 88). Tidak mungkin merealisasikan ibadah tanpa tawakal. Karena apabila seorang insan diserahkan kepada dirinya sendiri itu artinya dia diserahkan kepada kelemahan dan ketidakmampuan, sehingga dia tidak akan sanggup untuk beribadah.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/28])

Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in mengandung pemurnian ibadah semata-mata kepada Allah. Dalam ayat ini objeknya didahulukan (iyyaka), padahal biasanya ia diletakkan di belakang. Menurut kaidah bahasa arab hal ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan. Sehingga artinya menjadi, “Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Dan kami tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Mu.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/35])

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah berkata, “Di dalamnya terkandung penetapan tauhid uluhiyah. Dikedepankannya obyek yaitu kata Iyyaka memberikan makna pembatasan. Sehingga memberikan arti; “Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah/permintaan tolong hanya kepada-Mu, dan kami tidak mempersekutukan siapa pun bersama-Mu.”.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 57)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)

Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi intisari dakwah para nabi dan rasul dan muatan pokok seluruh kitab suci yang diturunkan Allah ke muka bumi. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang berseru: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (an-Nahl: 36).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu -Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, oleh sebab itu sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’: 25)

Kesimpulan dan Faidah :

> al-Fatihah adalah surat paling agung di dalam al-Qur’an

> Membaca al-Fatihah termasuk rukun Sholat

> al-Fatihah bisa untuk meruqyah

> al-Fatihab disebut juga dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an

> Makna-makna ayat al-Qur’an kembali kepada apa yang terkandung di dalam al-Fatihah

> Intisari al-Fatihah ada pada kalimat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’

> Di dalam kalimat itu terkandung pemurnian ibadah untuk Allah semata

> Di dalam kalimat itu terkandung wajibnya bertawakal kepada Allah semata

> Di dalam kalimat tersebut terkandung penetapan tauhid uluhiyah

> Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam beribadah

> Tauhid uluhiyah merupakan misi utama dan intisari dakwah segenap rasul

Pertanyaan Evaluasi :

– Sebutkan apa saja keutamaan surat al-Fatihah!

– Sebutkan syarat-syarat bolehnya ruqyah!

– Mengapa al-Fatihah disebut sebagai Ummul Kitab atau Ummul Qur’an?

– Apa intisari dari surat al-Fatihah?

– Apa yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *