Bismillah.
Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam an-Nawawi rahimahullah sebuah buku yang sangat bermanfaat. Karena di dalamnya beliau mencantumkan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membimbing manusia untuk mewujudkan tujuan hidupnya.
Apabila kita buka di bagian mukadimah kitab ini, penulis -semoga Allah merahmatinya- telah mengingatkan kita akan maksud dan tujuan hidup setiap insan di alam dunia ini. Beliau menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Beliau berkata, “Ini merupakan penegasan bahwasanya mereka diciptakan untuk beribadah. Oleh sebab itu sudah seharusnya mereka memperhatikan tujuan penciptaan mereka ini dan berpaling dari segala bentuk kepentingan dunia -yang sementara dan hina, pent- dengan bersikap zuhud. Karena dunia ini adalah kampung yang akan sirna bukan tempat yang abadi…”
Sebuah nasihat yang sangat berharga bagi kita. Apakah anda seorang pemimpin atau rakyat, apakah anda seorang pengusaha atau pegawai, apakah anda sebagai kepala rumah tangga atau anda sebagai ibu pengasuh generasi harapan bangsa. Hidup di dunia adalah sementara, sehingga layak bagi kita untuk benar-benar memahami tujuan hidup ini dengan sebenarnya.
Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah membutuhkan kita atau ingin mendapatkan bantuan dari kita. Sebab seluruh alam semesta ini, langit dan bumi beserta isinya adalah di bawah kekuasaan dan pengaturannya, tidak ada yang keluar dari kekuasaan Allah sekecil apapun. Maka ibadah kepada Allah pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri kita sendiri.
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, benar-benar Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan benar-benar Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang mereka amalkan.” (an-Nahl : 97)
Ibadah kepada Allah adalah dengan mengikuti petunjuk-Nya; yang dengan cara inilah manusia akan meraih kebahagiaan dan selamat dari kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Ibadah kepada Allah adalah dengan beriman dan beramal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada di dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)
Ibadah kepada Allah adalah dengan membersihkan diri dari syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, berupa ucapan dan perbuatan; yang tampak maupun tersembunyi. Ibadah hanya akan diterima jika dilandasi dengan iman dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’aam : 88)
Oleh sebab itu Imam an-Nawawi rahimahullah membawakan setelah mukadimah sebuah bab yang menjelaskan tentang pentingnya ikhlas dan menghadirkan niat dalam setiap amalan dan ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi. Diantara ayat yang beliau sebutkan adalah firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Perkara paling besar yang Allah perintahkan kepada kita adalah tauhid; yaitu beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan kepada kalian; Janganlah kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah kalian berbuat baik…” (al-Israa’ : 23)
Semua manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah semata sebagai bentuk syukur kepada-Nya; karena hanya Allah yang menciptakan kita maka tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah merupakan dosa syirik yang tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan taubat. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan akan mengampuni dosa-dosa lain di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki oleh-Nya.” (an-Nisaa’ : 48)
Syirik merupakan sebab pelakunya kekal di dalam neraka apabila dia tidak bertaubat sebelum kematian tiba. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)
Termasuk bentuk syirik adalah seorang beramal salih dengan niat untuk mencari pujian dan sanjungan manusia kepadanya. Ini termasuk syirik ashghar yang menghapuskan pahala amalan, walaupun pelakunya tidak keluar dari agama. Dalam hadits qudsi Allah berfirman, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu Imam an-Nawawi rahimahullah membawakan hadits pertama di dalam kitab Riyadhus Shalihin ini sebuah hadits yang sangat agung dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin dia peroleh atau karena seorang wanita yang ingin dia nikahi maka hijrahnya kepada apa-apa yang telah dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa syarat diterimanya amalan adalah harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah, bukan karena tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itu sholat, zakat, puasa, haji, bahkan kalimat syahadat pun tidak akan diterima tanpa keikhlasan. Dengan niat yang ikhlas amal yang tampak kecil bisa besar di hadapan Allah, sebaliknya amal-amal yang besar karena tidak disertai keikhlasan menjadi sirna dan tidak ada artinya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagi debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Ibnul Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya.”
Maka sudah sepantasnya kita bersihkan amal-amal kita dari keinginan dan niat yang merusak keikhlasan entah itu karena ingin mendapatkan ketenaran, haus popularitas, atau karena ingin mendapatkan cuilan-cuilan kesenangan dunia yang sementara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Semoga catatan yang singkat ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Rajab, 1439 H di Yogyakarta -semoga Allah memakmurkannya dengan tauhid dan sunnah-