Bismillah.
Setelah membawakan 3 ayat yang berkenaan dengan tauhid dan kedudukannya yang sangat tinggi, penulis Kitab Tauhid kembali membawakan 2 ayat lainnya yang semakin memperjelas makna tauhid dan menunjukkan pentingnya tauhid.
Kedua ayat itu adalah :
Firman Allah (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan jangan kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisa’ : 36)
Firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian kepada kalian; yaitu janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (al-An’am : 151)
Di dalam kedua ayat itu terkandung perintah untuk bertauhid dan bahwasanya tauhid merupakan kewajiban yang sangat agung. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, maka tauhid -beribadah kepada Allah semata- merupakan kewajiban yang paling besar atas umat manusia. Hal ini juga menunjukkan keharaman syirik dan bahwasanya tidak boleh mempersekutukan Allah dengan siapapun juga; apakah itu malaikat, nabi, atau wali apalagi keris, batu dan pohon.
Ayat-ayat yang dibawakan oleh penulis di bagian awal Kitab Tauhid ini semuanya menunjukkan wajibnya memurnikan ibadah kepada Allah semata. Bahkan tidaklah Allah mengutus seorang rasul kecuali dengan mengemban misi dakwah tauhid. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)
Dengan demikian kita bisa memahami bahwa ibadah merupakan hak Allah semata. Sehingga tidak boleh menujukan ibadah apapun bentuknya kepada selain Allah. Tidak boleh berdoa kepada selain Allah. Tidak boleh bersujud kepada selain Allah. Tidak boleh menyembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah. Tidak boleh bernadzar kepada selain Allah. Tidak boleh meminta keselamatan ketika tertimpa kesulitan/istighotsah kepada selain Allah, dst.
Dari sini kita juga bisa memetik faidah bahwa sesungguhnya tauhid inilah yang menjadi intisari ajaran Islam. Sebab tidak akan diterima amal apapun tanpa tauhid. Seandainya seorang melakukan ibadah dan amalan begitu banyak tetapi tercampuri dengan syirik maka semua amalan itu akan lenyap dan sirna. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka melakukan syirik pasti akan lenyap apa-apa yang dahulu telah mereka amalkan.” (al-An’am : 88)
Islam mengajak kepada pemurnian ibadah kepada Allah. Dan hal inilah yang ditentang keras oleh kaum musyrikin di sepanjang masa. Mereka menyombongkan diri bahkan menggelari da’i tauhid dengan julukan-julukan yang buruk. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu apabila diserukan kepada mereka laa ilaha illallah maka mereka menyombongkan dirinya, seraya mengatakan; Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya untuk mengikuti seorang penyair gila.” (ash-Shaffat : 35-36)
Maka sungguh aneh apabila ada sebagian orang yang mengaku sebagai da’i-da’i Islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan tetapi justru menyingkirkan dakwah tauhid dan peringatan dari bahaya syirik. Mereka ingin menyatukan umat tanpa menegakkan pondasi Islam, yaitu tauhid. Mereka ingin merajut persaudaraan tanpa menanamkan akar keimanan yaitu tauhid. Sungguh aneh bin ajaib! Betapa banyak orang yang mengaku muslim di masa kini tetapi menujukan ibadahnya kepada selain Allah; mereka berdoa kepada Hasan dan Husain, mereka meminta kepada sesembahan selain Allah… Apakah bisa dipersatukan orang yang hatinya menghamba kepada Allah semata dengan orang-orang yang hatinya tercerai-berai oleh beraneka bentuk sesembahan?!
Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa masih banyak diantara umat Islam ini yang tidak memahami makna kalimat tauhid. Mereka mengucapkan laa ilaha illallah dalam keadaan tidak memahami maknanya dengan benar. Sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk praktek dan keyakinan syirik yang meruntuhkan iman dan ketaatan.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Bagaimana bisa tersembunyi makna -tauhid- ini dari orang-orang yang beribadah kepada kuburan dan makam-makam keramat; sementara mereka itu menyandarkan dirinya sebagai bagian dari umat Islam?! Bahkan bisa jadi diantara mereka juga ada yang tergolong ahli ilmu agama dan fuqaha’/ahli fikih. Akan tetapi sebenarnya hal ini merupakan buah/akibat dari keteledoran dan tidak adanya perhatian yang serius terhadap perkara yang agung ini. Padahal inilah yang menjadi asas agama dan jalan keselamatan.” (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar al-Mubin ‘ala Qurrati ‘Uyunil Muwahhidin, hlm. 29)
Inilah salah satu bentuk musibah dan bencana besar yang menimpa aqidah banyak diantara kaum muslimin di masa kini. Oleh sebab itu berbagai kelemahan dan kemunduran menimpa mereka. Tauhid yang menjadi asas agama dan pondasi Islam justru dilalaikan dan disepelekan. Syirik telah menjadi kebiasaan dan bahkan dianggap sebagai bentuk kebaikan dan amalan yang bisa mendekatkan diri kepada tuhan. Dakwah tauhid dianggap memecah-belah umat dan mencerai-beraikan shof kaum muslimin. Ulama yang giat mengajak kepada tauhid dituduh sebagai biang kerok kerusuhan dan dalang berbagai tindak terorisme dan pembunuhan tanpa haq. Di sisi lain para penyebar paham Khawarij justru dieluk-elukkan dan dinobatkan sebagai sosok pahlawan pemberani yang menentang tirani. Perbuatan mencela penguasa di muka publik pun dianggap sebagai ekspresi kebebasan berpendapat dan metode yang tepat untuk menasihati. Berbagai bentuk amalan yang tidak ada tuntunannya justru dimeriahkan dengan alasan untuk menjaga persatuan.
Bagaimana mungkin seorang muslim bisa berbangga dengan agamanya sementara kalimat tauhid saja tidak dia pahami dengan sebenarnya? Bagaimana umat muslim bisa disegani oleh musuh-musuhnya sedangkan syirik -yang menjadi sebab utama kehancuran Islam- justru dipelihara dan dilestarikan dengan kedok budaya dan pariwisata? Apakah tauhid begitu murah dan tidak ada harganya di mata umat ini sehingga mereka rela menjual surga dan menukarnya dengan panasnya api neraka?!
Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan ia akan kembali menjadi terasing seperti kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu.” Kemudian ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Orang-orang yang tetap menjadi baik ketika manusia telah menjadi rusak.” (HR. Abu Amr ad-Dani dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)
Di dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang-orang yang asing itu adalah, “Mereka yang memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia.” (HR. Tirmidzi dan beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih). Maka sudah menjadi tugas kita bersama untuk kembali memperbaiki aqidah kaum muslimin. Mengembalikan mereka kepada kemurnian tauhid dan kesucian iman dari kotoran syirik dan kekafiran. Sebagaimana telah dinasihatkan oleh Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Diantara aqidah tauhid yang sudah mulai terasing di zaman ini adalah sebuah pertanyaan mendasar yang dianggap sepele oleh banyak orang; “Apabila ditanyakan kepadamu; Siapakah Rabbmu? Maka jawablah bahwa Rabbku adalah Allah. Dia lah yang telah memelihara dan merawatku dan Dia pula yang memelihara seluruh alam dengan segenap nikmat-Nya. Dia lah sesembahanku, tidak ada bagiku sesembahan selain-Nya.” (lihat kitab al-Wajibat)
Semoga Allah berikan taufik kepada para pemimpin kaum muslimin untuk menyebarkan dakwah tauhid ini ke segala penjuru dan menutup segala celah yang akan mengantarkan kaum muslimin menuju kehinaan dan kehancuran. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi pembawa rahmat, dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
# Penyusun : Redaksi al-mubarok.com
Baca seri artikel sebelumnya di sini [klik]