Bismillah.
Alhamdulillah pada beberapa seri artikel sebelumnya telah kita baca faidah-faidah dari bagian awal Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Beliau telah memaparkan tentang hakikat tauhid dan kedudukannya di dalam Islam. Dengan menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits seputar makna dan kedudukan tauhid. Kemudian beliau membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan Tauhid dan Penghapusan Dosa’ atau ‘Keutamaan Tauhid dan Dosa-dosa Yang Terhapus olehnya’.
Pada hadits sebelumnya yang beliau bawakan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu juga telah terkandung keutamaan tauhid sebagai sebab utama keselamatan dari azab neraka. Selain itu apabila kita cermati dalil-dalil sebelumnya juga secara tidak langsung menunjukkan keutamaan tauhid yang sangat tinggi, diantaranya adalah; tauhid merupakan tujuan penciptaan jin dan manusia, tauhid merupakan misi utama dakwah para rasul, tauhid menjadi kewajiban yang paling besar di dalam agama, dan tauhid wasiat teragung di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pada bab ini secara khusus penulis ingin memaparkan kepada kita dalil-dalil yang menunjukkan betapa besar keutamaan tauhid bagi seorang mukmin. Diantaranya adalah tauhid menjadi sebab untuk mendapatkan keamanan dan hidayah. Tauhid merupakan sebab utama masuk ke dalam surga. Selain itu, tauhid adalah kunci keselamatan dari azab neraka.
Sebelum kita membaca dalil-dalil yang beliau bawakan, ada sedikit faidah yang perlu kita ingat berkaitan dengan keutamaan tauhid ini. Sebagaimana kita telah ketahui bahwa kemuliaan suatu ilmu itu tergantung pada keutamaan materi/objek yang dipelajari. Semakin mulia suatu perkara maka semakin mulia pula ilmu tentangnya. Sementara tidak ada yang lebih mulia daripada Allah, sehingga ilmu mengenal Allah -atau ilmu tauhid- adalah ilmu yang paling utama.
Hal itu apabila kita melihat tauhid sebagai suatu bidang ilmu. Kemudian, apabila kita melihat tauhid sebagai suatu bentuk amalan maka tentu saja keutamaan tauhid akan semakin tampak jelas. Mengapa demikian? Karena tauhid inilah yang menjadi asas seluruh amalan dan syarat diterimanya amal ibadah seorang hamba. Tanpa tauhid semua kebaikan akan sia-sia. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Kita juga telah mempelajari bersama bahwa tauhid adalah bentuk keadilan yang paling tinggi. Karena dengan bertauhid seorang hamba menunaikan hak Rabbnya, sementara dengan berbuat syirik seorang hamba telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak pantas menerimanya. Oleh sebab itu syirik termasuk kezaliman yang paling berat. Hanya saja kezaliman ini tidaklah merugikan Allah, sebab yang rugi dan teraniaya sesungguhnya adalah hamba itu sendiri; karena dia telah menghambakan dirinya kepada makhluk dan tunduk kepada kemauan Iblis.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam sebuah bait syairnya :
Mereka lari dari perbudakan yang menjadi tujuan
mereka diciptakan
Maka mereka pun terjatuh dalam perbudakan
kepada hawa nafsu dan setan
Apabila demikian maka tauhid adalah sebab utama kebahagiaan insan. Tidak ada kebahagiaan baginya tanpa tauhid dan iman. Dengan tauhid inilah seorang muslim akan bisa merasakan lezatnya keimanan dan manisnya penghambaan kepada ar-Rahman. Malik bin Dinar rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Orang-orang yang malang dari kalangan penduduk dunia; mereka telah keluar dari dunia dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Mereka pun bertanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu sesuatu yang paling indah di dunia?” beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla, mencintai-Nya dan tenang dengan zikir kepada-Nya.”
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki dan perempuan dalam keadaan dia beriman, niscaya Kami akan berikan kepada mereka kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang jauh lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka amalkan.” (an-Nahl : 97)
Nikmatnya tauhid dan keimanan inilah yang diungkapkan oleh para ulama rabbani dengan kalimat yang muncul dari dalam hatinya, “Seandainya para raja dan anak-anak raja/putra mahkota itu mengetahui apa-apa yang kami rasakan -berupa kenikmatan ibadah kepada Allah- niscaya mereka akan berusaha merebutnya dari kami dengan tebasan pedang-pedangnya.” Inilah kenikmatan yang membuat tegar dan kokoh para sahabat semacam Bilal bin Rabah, Yasir beserta Sumayyah -istrinya- dan para sahabat yang lain –radhiyallahu’anhum– ketika harus mendapatkan siksaan dan tekanan dari muusuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Mereka telah menjual jiwa dan hartanya kepada Allah, dan Allah membayarnya dengan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya!
Inilah kenikmatan yang dirasakan oleh para ulama panutan umat semacam Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika harus berhadapan dengan siksaan dan pedihnya cambukan oleh penguasa zalim kala itu. Sehingga beliau tetap bersabar dan mendoakan kebaikan bagi pemerintah. Beliau pun tidak ingin menumpahkan darah kaum muslimin demi ambisi kekuasaan. Beliau mengedepankan maslahat rakyat banyak dan merelakan dirinya tersiksa di dalam penjara untuk membela kemurnian aqidah Islam. Ketika cambukan demi cambukan menyambar tubuhnya, Imam Ahmad membaca sebuah ayat (yang artinya), “Katakanlah; Tidak akan menimpa kami kecuali apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami…” Inilah ucapan seorang pembela al-Qur’an sejati!
Inilah kenikmatan dan kemuliaan yang dirasakan oleh sayyidu waladi Adam; pemimpin anak keturunan Adam, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika datang kepadanya Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu dan melihat bekas tikar yang kasar pada tubuh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Umar pun meneteskan air mata. Dia berkata, “Kisra dan Kaisar berada di atas singgasana berlapis emas, sementara anda -seorang Nabi- dalam keadaan semacam ini?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengucapkan sebuah kalimat emas yang menunjukkan kepada kita betapa berharganya iman dan tauhid yang beliau perjuangkan, “Tidakkah engkau ridha, wahai Umar; bahwa untuk mereka dunia, sedangkan untuk kita akhirat?”
Inilah kenikmatan hakiki yang lenyap dari banyak orang yang mengaku muslim atau bahkan menisbatkan dirinya kepada dakwah dan perbaikan umat kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah. Inilah rahasia kejayaan generasi terdahulu dari umat ini. Tidakkah kita ingat ucapan Abu Bakar bin ‘Iyasy mengenai Abu Bakar radhiyallahu’anhu, “Tidaklah Abu Bakar itu mengungguli para sahabat yang lain karena banyaknya sholat atau puasa. Akan tetapi beliau mengungguli mereka karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Kemudian ada yang bertanya, “Apakah itu yang bersemayam di dalam hatinya.” Maka dijawab, “Yaitu kecintaan karena Allah dan ketulusan dalam memberikan nasihat/kebaikan kepada sesama.”
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat yang dihafalkan/disampaikan. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah.” Dari sinilah kita bisa melihat betapa besar keutamaan tauhid, karena dengan tauhid inilah seorang hamba akan senantiasa menanamkan rasa takut kepada Allah dan berharap akan rahmat-Nya. Para ulama terdahulu mengatakan, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta/mahabbah, takut/khouf, dan harap/roja’ maka itulah orang yang mukmin muwahhid/ahli tauhid.”
Semoga sedikit catatan pengingat ini bermanfaat bagi kami dan segenap pembaca.