Faidah Pertama.
Tujuan Penciptaan
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Ayat ini menunjukkan bahwa satu-satunya tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/32-33)
Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa dia ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sia-sia.” (al-Qiyamah : 36)
Imam Syafi’i rahimahullah menafsirkan ‘dalam keadaan sia’sia’, “Maksudnya tidak diberi perintah dan larangan.” (lihat Ibthal at-Tandid, hlm. 17)
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Ayat ini berisi seruan dan panggilan kepada seluruh manusia untuk memurnikan ibadah kepada Allah. Karena hanya Allah yang menciptakan mereka maka sudah seharusnya mereka menujukan ibadah kepada Allah semata (lihat Syarh Mutun al-’Aqidah, hlm. 214)
Dalam pengertian syari’at, ibadah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dengan dilandasi rasa cinta, harapan, dan takut (lihat at-Tam-hid, hlm. 13)
Faidah Kedua.
Memahami Makna Ibadah
Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri, ketundukan, dan pasrah yang disertai kecintaan sepenuhnya. Adapun secara istilah ibadah mencakup dua hal; pertama berupa perendahan diri kepada Allah dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan dilandasi kecintaan dan pengagungan, dan yang kedua berupa ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah baik lahir maupun batin disertai sikap berlepas diri dari segala hal yang bertentangan dan merusaknya (lihat Husnul Ifadah, hlm. 20)
Setiap ibadah lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat; ikhlas untuk Allah dan mutaba’ah/mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap amalan yang tidak disertai keikhlasan akan sia-sia, demikian pula setiap amalan yang tidak mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tertolak (lihat Syarh Manzhumah as-Sair ila Allah, hlm. 5)
Istilah ibadah meliputi segala bentuk ketaatan yang dilakukan kepada Allah ataupun sikap menjauhi segala hal yang diharamkan. Adapun istilah ubudiyah maksudnya adalah penghambaan yang ada pada pribadi atau individu manusia; ada yang penghambaannya kepada Allah dengan ketundukan dan pilihannya sendiri, dan ada yang penghambaannya kepada Allah karena terpaksa; dalam artian dia tunduk kepada takdir dan ketetapan Allah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Tidak ada segala sesuatu (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali pasti akan datang kepada ar-Rahman sebagai hamba.” (Maryam : 93) (lihat Syarh Risalah al-’Ubudiyah, hlm. 11)
Setiap ibadah yang ditujukan kepada selain Allah pada hakikatnya adalah peribadatan kepada thaghut. Apabila yang disembah ridha dengan hal itu maka dia adalah thaghut. Dan apabila yang disembah tidak meridhai perbuatan itu maka itu adalah penghambaan kepada thaghut yaitu setan; karena dia lah yang memerintahkannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36) (lihat Syarh Risalah al-’Ubudiyah, hlm. 15)
Ikhlas adalah meninggalkan syirik dan memurnikan ibadah untuk Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak menerima ibadah setinggi apapun keutamaan dan kesempurnaannya, sebab ibadah hanya hak Allah. Para malaikat, nabi, wali, dan orang salih tidak berhak mendapatkan ibadah. Ikhlas hanya akan terwujud dengan meninggalkan segala bentuk syirik. Adapun orang yang beribadah kepada Allah tetapi juga berbuat syirik kepada-Nya maka amalnya akan sirna (lihat Syarh al-Ushul as-Sittah, hlm. 9)
Faidah Ketiga.
Benarnya Aqidah Syarat Diterimanya Amalan
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalan yang telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Syaikh Muhammad Musa alu Nashr rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima amalan kecuali apabila aqidahnya benar.” (lihat al-Muqaddimah ar-Rasyidah, hlm. 11)
Oleh sebab itu orang munafik -dengan kemunafikan akbar- begitu pula orang kafir -dengan kekafiran akbar- telah merusak pondasi ini sehingga amal-amal mereka tidak diterima oleh Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik berada di kerak neraka yang paling bawah.” (an-Nisaa’ : 145)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang kufur kepada keimanan maka sungguh terhapus amalnya.” (al-Maa-idah : 5)
Dengan demikian, kekafiran, syirik dan kemunafikan akbar merupakan sebab terhapusnya amalan dan hancurnya agama seorang hamba secara total (lihat Min Ma’alim at-Tauhid, hlm. 27)
Faidah Keempat.
Memurnikan Agama Untuk Allah
Memurnikan agama dan ketaatan untuk Allah merupakan pokok ajaran agama dan poros utama seluruh ajarannya. Inilah intisari dari tauhid yang menjadi misi dakwah setiap rasul yang Allah utus dan materi utama kitab-kitab yang Allah turunkan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya, ketahuilah bahwa hanya milik Allah agama/ketaatan yang murni/bersih -dari syirik-.” (az-Zumar : 2-3)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)
Tauhid bagaikan asas dan pondasi bagi sebuah bangunan. Ketinggian dan kokohnya sebuah bangunan tergantung pada kekuatan pondasi dan keteguhannya. Amalan-amalan ibarat unsur sebuah bangunan sedangkan pondasinya adalah iman. Orang yang paham akan fokus untuk memperbaiki pondasi dan menguatkannya sebelum meninggikan bangunan, sedangkan orang yang bodoh bersemangat untuk meninggikan bangunan tanpa memperhatikan pondasinya. Hal itu sebagaimana keadaan orang munafik yang membangun masjid tanpa landasan ikhlas dan ketakwaan. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah orang yang menegakkan bangunannya di atas ketakwaan kepada Allah dan untuk mencari keridhaan-Nya, itukah yang lebih baik atau orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang miring sehingga justru menjerumuskan dia ke dalam neraka Jahannam.” (at-Taubah : 109) (lihat Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar, hlm. 13)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Mekah selama 10 tahun -setelah diutus sebagai rasul- mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Hal itu terus beliau lakukan sebelum datangnya kewajiban sholat dan syari’at-syari’at yang lain. Karena tauhid merupakan asas agama dan pokoknya. Adapun kewajiban-kewajiban yang lain adalah cabang darinya. Apabila pokoknya hilang maka cabangnya juga pasti akan hilang. Oleh sebab itu segala bentuk ibadah harus dimurnikan kepada Allah. Barangsiapa memalingkan salah satu ibadah kepada selain Allah maka dia terjerumus dalam syirik dan kekafiran (lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah, hlm. 28)