Durhaka dan Petaka

Bismillah.

Siapa saja yang memperhatikan perjalanan sejarah kehidupan umat manusia akan melihat bahwa silih bergantinya waktu dan generasi seolah membuat banyak orang lupa tentang tujuan hidup dan jalan kebenaran yang harus dia tempuh. Umat-umat terdahulu yang Allah hancurkan -dengan segala kehebatan dan kemegahan yang mereka capai- tidak tunduk kepada aturan dan hukum Allah.

Ketika tidak ada jalan untuk menyadarkan manusia dan mengembalikan mereka ke jalan yang lurus kecuali dengan menimpakan bencana, maka Allah pun takdirkan musibah besar menimpa dunia mereka. Sebuah musibah yang terjadi karena ulah tangan-tangan mereka sendiri. Kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya Allah tenggelamkan dengan air bah yang luar biasa besar. Begitu pula keangkuhan Fir’aun dan balatentaranya Allah hancurkan dengan menenggelamkan mereka ke dalam lautan untuk memberi pelajaran bagi siapa pun yang membangkang dan menentang Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula umat Nabi Luth ‘alaihis salam yang telah merusak fitrahnya dan berbuat keji dengan terang-terangan. Allah binasakan mereka, Allah timpakan azab kepada mereka, dan Allah hancurkan kelancangan mereka. “Demikianlah hukuman dari Rabbmu apabila menghukum suatu kampung/kota yang tenggelam dalam kezaliman, sesungguhnya siksaan-Nya sangat pedih dan sangat keras…”

Inilah maksud dari firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidaklah merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Ra’d : 11). Banyak yang mengira bahwa ayat ini terbatas pada hal-hal yang positif dan membangun. Allah tidak memberikan kebaikan pada suatu kaum kecuali apabila mereka sendiri juga berusaha untuk memperbaiki dirinya. Padahal, ayat ini lebih luas dari itu. Bahkan keburukan sekalipun; Allah tidaklah menimpakan keburukan dan malapetaka pada suatu kaum kecuali disebabkan ulah mereka ‘merubah’ kebaikan yang ada pada mereka menjadi keburukan dan kemaksiatan kepada Allah. 

Inilah salah satu maksud dari ucapan Abu Hazim rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah, maka itu adalah malapetaka.” Inilah yang terjadi ketika manusia tidak menunaikan kewajiban syukur kepada Allah; nikmat yang seharusnya bisa mendatangkan curahan nikmat berikutnya justru berbalik arah menjadi bumerang yang mengundang bencana. Nikmat kehidupan, nikmat kesehatan, air, udara, bumi, barang tambang, bahan bakar, listrik, cahaya, pendengaran, penglihatan, dan hati; nikmat-nikmat yang begitu besar tetapi sering diremehkan dan disalahgunakan oleh manusia. Dan pada akhirnya ‘tampaklah kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah-ulah tangan manusia’… 

Segala bentuk musibah yang menimpa adalah dengan takdir Allah. Allah mahabijaksana dan mahamengetahui keadaan hamba-Nya. Allah sama sekali tidak menzalimi mereka. Bahkan salah satu tanda kecintaan Allah kepada hamba adalah dengan memberikan cobaan dan musibah kepadanya; agar terbersihkan dosa dan tersadarkan mereka dari kelalaiannya. Tidakkah kita melihat keadaan kaum musyrikin di masa silam yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila mereka menaiki perahu -lantas diterpa oleh badai- maka mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan agama/amal kepada-Nya….”

Hal ini memberikan faidah bahwa datangnya musibah bisa membantu manusia untuk tunduk kepada Allah, berdoa kepada-Nya, dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata… Suatu pengaruh positif yang luar biasa; yang mungkin sulit diperoleh dalam kondisi nyaman, aman, dan tidak tertimpa bencana…. Sebuah nikmat yang jauh lebih besar dan lebih berharga bagi mereka -di hadapan Allah- daripada nikmat dunia yang saat itu berkurang atau lenyap dari tangan mereka… Aduhai, betapa sedikit orang yang mau merenungkan dan menyadarinya! Betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya….

Seorang hamba yang mengira bahwa kebahagiaan ada pada tumpukan harta akan menyadari bahwa hartanya tidak bisa mencukupi dan melepaskan dia dari azab Allah. Seorang manusia yang menyangka bahwa kesuksesan ada pada jabatan dan tampuk kekuasaan akan teringat bahwa kekuasaan manusia tidak ada artinya di hadapan kebesaran dan keagungan Rabbnya. Ketika itulah manusia sadar bahwa iman merupakan nikmat terbesar yang akan membahagiakan mereka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *