Bismillah.
Imam Muslim rahimahullah membawakan sebuah kisah menyentuh hati. Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dia berkata : Ketika turun ayat ini (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara kalian di atas suara Nabi.” (al-Hujurat : 2) sampai akhir ayat, maka ketika itu Tsabit bin Qais pun duduk terdiam di rumahnya.
Dia mengatakan, “Aku termasuk penghuni neraka.” Dan dia pun menahan diri tidak mau bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Sa’ad bin Mu’adz, “Wahai Abu Amr, ada apa dengan Tsabit? Apakah dia sedang sakit?” Sa’ad menjawab, “Dia adalah tetanggaku, dan aku tidak mengetahui kalau dia sedang sakit.”
Maka Sa’ad pun mendatanginya dan menceritakan kepadanya perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Tsabit pun mengatakan, “Telah diturunkan ayat ini -surat al-Hujurat ayat 2- dan sungguh kalian telah mengetahui bahwa aku termasuk orang yang paling tinggi suaranya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau begitu aku termasuk penghuni neraka.”
Sa’ad pun mengisahkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bahkan dia termasuk penghuni surga.” (HR. Muslim no. 119)
Hadits ini diberi judul oleh Imam Nawawi dengan ‘Bab, Rasa Takut Seorang Mukmin Akan Terhapusnya Amal-amalnya’. Para ulama menjelaskan bahwa Tsabit bin Qais adalah seorang sahabat yang sering berceramah dengan dihadiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara dia memiliki suara yang cukup tinggi. Ketika turun ayat tersebut yang mengancam orang-orang yang meninggikan suara di atas suara Nabi bahwa amal mereka akan terhapus maka Tsabit pun khawatir apabila dirinya termasuk golongan orang yang diancam di dalam ayat itu.
Tsabit pun tinggal di rumahnya menangis siang dan malam. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Mereka itulah orang-orang yang mengetahui kadar/kedudukan al-Qur’an.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 29 cet. Dar ats-Tsurayya)
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita betapa besar perhatian salafus shalih terhadap al-Qur’an, bahkan mereka menujukan ayat-ayat itu kepada dirinya sebelum orang lain. Mereka menjadikan Kitabullah sebagai penasihat dan penegur jiwanya. Mereka merasa takut akan keadaannya di hadapan Allah. Mereka tidak menganggap dirinya hebat atau suci. Mereka selalu berinstrospeksi dan merasa bahwa dirinya penuh dengan kekurangan. Mereka khawatir amalnya tidak diterima.
Terkadang kita lupa bahwa orang berdosa yang diancam siksa itu adalah bisa jadi kita sendiri. Terkadang kita terlena dengan sanjungan dan pujian sehingga buta dengan aib dan cacat amalan kita. Kita sering menganggap bahwa ayat ini dan itu menjadi senjata kita tetapi di saat yang sama kita pun lupa bahwa banyak ayat lain yang kita terjang dan siap untuk menjadi bumerang yang menghancurkan reputasi dan masa depan kita. Lantas apa yang membuat kita jumawa?
Semoga Allah berkenan mengampuni dosa kami dan anda…
—