Celah Menuju Bahagia atau Sengsara?

beach-picture-eclipse-Malaysia-Shutterhack-pic

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

Apabila Allah berkehendak kebaikan kepada hamba-Nya [yang berbuat dosa] maka Allah bukakan baginya sebuah pintu diantara pintu-pintu taubat, penyesalan, perasaan tidak berdaya, rendah, butuh, memohon keselamatan kepada-Nya, benar-benar memulangkan urusan kepada-Nya, terus-menerus merendah, berdoa, mendekatkan diri kepada-Nya sebisa mungkin dengan berbagai bentuk amal kebaikan; yang itu semuanya pada akhirnya akan bisa mengubah dosa yang telah dia perbuat menjadi sebab datangnya rahmat baginya. Sampai-sampai si musuh Allah [yaitu setan] berkata, “Aduhai, andaikata aku biarkan dia [tidak menggodanya] dan tidak menjerumuskannya,”

Inilah makna dari ucapan sebagian salaf, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan suatu dosa kemudian yang pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam surga. Dan bisa jadi dia melakukan suatu kebaikan yang pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam neraka.” Mereka -teman-temannya- bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Salaf itu pun menjawab:

Orang itu berbuat dosa lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapan kedua matanya, sehingga dia terus-menerus merasa takut akan akibatnya, khawatir karenanya dan penuh kegelisahan, menangisi dosanya dan menyesalinya. Dia merasa malu kepada Rabbnya ta’ala. Kepalanya tertunduk malu di hadapan-Nya. Hatinya pun remuk dan mengiba kepada-Nya.

Dengan demikian, dosa yang telah dilakukannya justru menjadi perantara untuk menggapai kebahagiaan dan keberuntungan hamba itu. Sampai-sampai dosa yang telah dia lakukan itu jauh lebih bermanfaat baginya daripada sekian banyak amal ketaatan; yaitu dikarenakan hal-hal positif yang muncul karenanya yang dengan itu semuanya seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya, sampai pada akhirnya dosanya itu justru mengantarkan dirinya masuk ke dalam surga.

Dan bisa jadi seorang hamba melakukan suatu amal kebaikan; sampai-sampai hal itu membuatnya terus merasa berjasa kepada Rabbnya. Dia merasa sombong dengan amalannya itu. Dia melihat keunggulan pada dirinya dan merasa ujub olehnya. Dia pun meremehkan orang dengan sebab prestasinya.

Dia pun berkata, “Aku sudah berhasil melakukan ini dan itu.” Akhirnya, amal kebaikannya itu justru menumbuhkan perasaan ujub dan sombong, berbangga-bangga dan meremehkan orang lain, yang pada akhirnya itu menjadi sebab kebinasaan dirinya. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi orang yang malang ini, Allah akan mengujinya dengan sesuatu yang akan mematahkan keangkuhan dirinya dan menundukkan lehernya, dan Allah akan membuatnya dirinya merasa kecil/tidak berarti dalam pandangannya sendiri.

Namun, apabila Allah memiliki kehendak lain kepada orang itu, Allah akan biarkan dirinya bersama dengan buaian perasaan ujub dan sombong yang meliputinya. Inilah justru yang dinamakan dengan khudzlan/keadaan terlantar yang menjadi sebab kehancuran dirinya. Karena sesungguhnya segenap orang yang mengerti telah sepakat bahwa hakikat taufik -dari Allah- itu adalah tatkala Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan [keadaan terlantar] itu adalah ketika Allah ta’ala membiarkan kamu bersandar kepada kemampuan dirimu sendiri.

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri dan perasaan tidak berdaya, sehingga dia selalu memulangkan masalah kepada Allah ta’ala dan terus merasa butuh kepada-Nya. Ia senantiasa melihat akan aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya, kezaliman-kezalimannya, dan mengingat tindakan pelanggaran dan permusuhan yang telah diperbuat olehnya. Di samping itu, ia selalu menyaksikan dan menyadari betapa luas curahan karunia dari Rabbnya, ihsan, rahmat, kedermawanan, kebaikan, kekayaan, dan keterpujian diri-Nya.

Oleh sebab itu, orang yang benar-benar mengenal -Allah- meniti jalannya menuju Allah diantara kedua sayap ini. Dia tidak mungkin berjalan -dengan baik- kecuali dengan keduanya. Kapan saja salah satu diantara kedua belah sayap itu hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya.

Syaikhul Islam -Abu Isma’il al-Harawi- mengatakan, “Orang yang ‘arif/mengenal Allah berjalan menuju Allah diantara musyahadatul minnah/menyaksikan curahan nikmat -yang Allah berikan kepadanya- dan [keadaan] selalu menelaah aib diri dan amalan.”

[lihat al-Wabil ash-Shayyib tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id, hal. 9-11]

Nasihat dan Hikmah Ulama

Masruq rahimahullah berkata:

Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.

[lihat Min A’lam as-Salaf [1/23]]

Qabishah bin Qais al-Anbari berkata:

adh-Dhahhak bin Muzahim apabila menemui waktu sore menangis, maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu, adakah diantara amalku hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.”

[lihat Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf, hal. 18]

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan perasaan takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.

[lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/350] cet. Maktabah at-Taufiqiyah]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *