Cahaya di Atas Perjalanan

Bismillah.

Tidaklah diragukan bahwa hidup di alam dunia ini adalah bagian dari perjalanan yang panjang menuju akhirat. Hari demi hari yang dilalui oleh seorang insan mengandung banyak ibrah dan pelajaran. Hari yang bisa jadi dimanfaatkan oleh para pengejar dunia untuk tenggelam dan hanyut dalam mengejar fatamorgana. Dan hari-hari yang sama bisa jadi digunakan dengan cerdas oleh kaum pilihan untuk mengejar kebahagiaan sesungguhnya di kampung akhirat sana.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kehidupan yang anda dan orang lain jalani bukanlah perkara yang tanpa makna dan tanpa tujuan. Allah jadikan hidup di dunia sebagai ujian dan cobaan bagi manusia; siapakah diantara mereka yang patuh kepada aturan Allah dan siapa yang lebih mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat dan wahyu yang Allah turunkan kepada para nabi. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Perjalanan yang panjang ini membutuhkan bekal ilmu dan ketakwaan. Bekal paling utama yang harus disiapkan oleh seorang hamba untuk bertemu Allah dan mempertanggungjawabkan segala tindakan dan keyakinan yang dia pegang selama hidup di dunia. Banyak orang lupa bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, sedangkan kehidupan abadi ada di akhirat sana; ada surga dan ada neraka.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Amal salih inilah yang selalu diperhatikan dan menjadi perhiasan terindah bagi seorang muslim di alam dunia. Orang yang paling sempurna imannya adalah yang senantiasa mengisi waktunya dengan amal salih dan akhlak mulia.

Amal salih menjadi prioritas bagi seorang muslim di dalam menjalani hidupnya. Dia akan mempersembahkan amal-amalnya untuk Allah semata, bukan karena ingin mendapatkan pujian manusia atau mengejar balas jasa dan kepentingan dunia yang sementara. Amal salih yang dia lakukan harus cocok dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau telah memperingatkan, “Barangsiapa melakukan amal yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti tertolak.” (HR. Muslim)

Para salaf tidak hanya perhatian dalam menambah amalan, tetapi mereka juga selalu perhatian untuk membersihkan amal-amalnya dari kotoran dan perusak ketaatan. Sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah; bahwa bukanlah yang menjadi urusan dan ukuran adalah tentang melakukan amalan; tetapi yang paling harus diperhatikan adalah bagaimana menjaga amal itu agar tidak rusak dan tidak hancur akibat berbagai faktor yang meracuninya.

Oleh sebab itu para salaf menafsirkan ‘amal terbaik’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu murni karena Allah dan benar maksudnya mengikuti petunjuk dan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua perkara inilah yang patut untuk terus kita teliti dan kita perbaiki dalam perjalanan hidup. Tidak sedikit orang yang telah melakukan banyak amal tetapi amalnya itu terbang sia-sia bahkan menjadi jembatan yang mengantarkannya kepada kesengsaraan, wal ‘iyadzu billah

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah Kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu (kebaikan) dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Allah berfirman tentang nasib amalan orang kafir dan amalan yang tidak ikhlas (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amalan yang dahulu mereka kerjakan lantas Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Allah juga menjelaskan keadaan amal yang tercampuri oleh kesyirikan (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu melakukan syirik pastilah akan lenyap dari mereka segala amal (kebaikan) yang dahulu telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Syirik di tengah umat ini sangatlah samar; lebih samar daripada bekas rayapan seekor semut. Jika para sahabat saja -orang yang paling bersih hatinya setelah para nabi- mengkhawatirkan tentang nasib amal dan kebaikannya lantas bagaimana lagi dengan kita? Abdullah ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan 30 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.” Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Tidaklah merasa takut akan hal itu (rusaknya amal dan tertolaknya amal, pent) kecuali orang yang mukmin, dan tidaklah merasa aman/bebas dari ancaman itu kecuali orang yang munafik.”

Orang yang benar imannya memadukan dalam dirinya antara berbuat baik -berupa iman dan amal salih- dengan perasaan takut akan amalnya, sedangkan orang fajir atau kafir berbuat buruk/maksiat sementara hatinya merasa aman/tidak bermasalah dan tidak merasa berdosa.

Perjalanan hidup seorang muslim berada diantara rasa takut/khouf dengan harapan/roja’. Kedua hal ini laksana dua sayap seekor burung. Orang yang salih memadukan dalam dirinya dua perasaan; takut dan harap. Takut akan azab Allah dan berharap akan rahmat-Nya. Allah Mahakeras hukuman-Nya sehingga hal itu membuat dirinya takut, dan Allah Mahaluas rahmat dan ampunan-Nya sehingga hal itu tidak membuatnya putus asa. Dia akan terus bertaubat dari dosa dan kesalahan. Dia akan mengabdi kepada Allah dengan jiwa dan raganya sepanjang hayat dikandung badan.

Dalam surat al-Hijr Allah telah memerintahkan kepada manusia (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang keyakinan (yaitu kematian).” Beribadah kepada Allah artinya tunduk dan patuh kepada-Nya dengan penuh cinta dan pengagungan. Melakukan apa yang Allah cintai dan meninggalkan apa yang Allah benci. Menggantungkan hati semata-mata kepada Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama (amal) secara hanif/bertauhid lagi ikhlas, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Sungguh merugi seorang hamba yang menyia-nyiakan waktu dan kesehatan yang Allah berikan kepadanya dalam keharaman dan kesia-siaan. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan hari demi hari. Setiap hari berlalu itu artinya telah lenyap sebagian dari dirimu.” Abu Hazim rahimahullah berkata, “Setiap nikmat yang tidak semakin membuat dekat seorang hamba kepada Allah maka hakikatnya itu adalah malapetaka.”

Subhaanaka Allahumma wa bihamdika

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *