Bersiap Panen Pahala

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dilandasi dengan iman. Kehidupan bersama Islam dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi banyak orang yang tidak memahami makna dan hakikat islam dan kebahagiaan.

Orang mengira bahwa islam hanya mengatur hubungan hamba dengan Allah tanpa sedikit pun berhak mengatur hubungan antar manusia selain sekedar hubungan sosial belaka. Banyak orang juga mengira bahwa kebahagiaan tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Dengan bahasa lain, mereka mengira bahagia bisa diraih dengan meninggalkan aturan dan tuntunan agama.

Ketika kita salah memahami makna islam dan mempersempit makna ibadah maka di saat yang sama kita telah mengalami kekaburan tujuan hidup dan misi sebagai manusia ciptaan Allah. Begitu pula saat kita membatasi kebahagiaan hanya berkutat dalam kesenangan duniawi tanpa sedikit pun menoleh pada dampak akhirat dari segala ucapan dan tindakan; maka itu artinya kita telah menceburkan diri dalam kesesatan dan penghambaan kepada setan.

Islam membawa manusia menuju kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Thaha. Tidaklah Kami turunkan al-Qur’an ini supaya kamu celaka.” (Thaha : 1). Kebahagiaan akan diraih tatkala manusia kembali kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Inilah pedoman hidup yang tidak boleh dikesampingkan; suatu prinsip yang mungkin akan jarang kita temukan di sekolah-sekolah sekuler atau pendidikan yang berorientasi dunia semata. Sehingga manusia pun memusuhi sesuatu yang tidak mereka mengerti. Kebahagiaan dan keimanan yang seharusnya menjadi perkara prioritas pun dianggap sebagai musuh dan penghambat kemajuan. Karena norma agama telah dimandulkan oleh berbagai pemikiran dan kerancuan dalam memahami ilmu agama.

Jaminan bahagia itu bersama Allah, bukan dengan mengikuti kemauan hawa nafsu manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123).  Banyak orang lebih terpesona dan terdoktrin oleh tradisi dan warisan pemahaman nenek moyang yang belum tentu benarnya. Mereka pun tidak segan menolak wahyu dengan dalih memuliakan derajat manusia dan hak asasi mereka. Padahal justru dengan meninggalkan islam manusia terjebak dalam penghambaan kepada berhala.

Ibnul Qayyim rahimahullah melukiskan keadaan banyak orang :

Mereka lari meninggalkan

penghambaan yang menjadi tujuan mereka diciptakan

Akhirnya mereka pun terjebak

dalam penghambaan kepada nafsu dan setan

Ketika kita tidak menyadari bahwa kehidupan dunia ini diberikan kepada kita sebagai ladang menanam kebaikan dan amal salih maka kita akan hidup dalam kegalauan dan kerendahan. Bukankah Allah ciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Kemuliaan itu diberikan bagi mereka yang patuh dan mengikuti wahyu. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memuliakan dengan Kitab ini beberapa kaum dan akan merendahkan dengannya bagi sebagian kaum yang lain.” (HR. Muslim). Kemuliaan dan ketinggian akan diberikan kepada mereka yang berilmu dan beriman.

Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang berilmu ditinggikan berderajat-derajat.” (al-Mujadilah : 11). Dengan demikian ilmu dan keimanan adalah kunci keutamaan dan kemuliaan insan. Tanpa ilmu manusia akan larut dalam kegelapan dan kebodohan. Dan tanpa keimanan manusia akan hanyut dalam keragu-raguan dan kegalauan. Tidaklah mulia generasi terdahulu umat ini kecuali dengan bekal ilmu dan iman.

Imam Ahmad rahimahullah berkata : Manusia lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cekali atau dua kali sudah cukup. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.

Bagaimana bisa mengenali jalan menuju surga dan jalan menuju neraka kalau bukan dengan ilmu agama? Karena itulah mencari ilmu agama menjadi sebab kemudahan menuju surga dan kebahagiaan hakiki bersama iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Karena itu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibadah kepada Allah yang itu menjadi tujuan pokok hidup tidak akan terwujud tanpa ilmu. Karena hakikat ibadalh adalah melakukan apa-apa yang dicintai oleh Allah. Ibadah terlaksana dengan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah dan larangan Allah. Bagaimana bisa beribadah sementara orang tidak mengerti apa yang dicintai Allah dan mana yang dibenci oleh-Nya? Bagaimana bisa beribadah kepada Allah orang yang tidak mengenal perintah dan larangan-Nya?

Ilmu merupakan pondasi amal dan ketaatan. Karena itulah sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” Dan yang dimaksud ilmu di sini adalah firman Allah dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu yang bermanfaat; yang membuahkan bersihnya hati dari kotoran fitnah syubhat dan syahwat. Karena keutamaan ilmu itu pula para ulama Allah jadikan sebagai saksi atas tauhid dan Allah jadikan mereka sebagai pewaris para nabi.

Ilmu adalah gizi bagi hati. Tanpa ilmu maka hati akan mengeras bahkan bisa mati. Karena ilmu yang benar akan membuahkan rasa takut kepada Allah dan tawakal kepada-Nya. Begitu pula dengan ilmu pula seorang akan bisa merawat hatinya dengan keyakinan dan amal salih serta dzikir dan doa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Ilmu yang bermanfaat akan melahirkan dzikir kepada Allah. Dzikir dengan hati, dzikir dengan lisan, dan dzikir dalam bentuk amal-amal ketaatan. Ilmu yang bermanfaat akan menghasilkan iman dan amal salih. Oleh sebab itu keberuntungan diberikan kepada mereka yang menghiasi kehidupannya dengan iman dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan melakukan amal salih dan saling menasihati dalam kebenaran serta saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3) . Saling menasihati dalam kebenaran menjadi kunci untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasihati dalam kesabaran menjadi kunci untuk mengatasi fitnah syahwat.

Dengan ilmu Islam inilah umat ini akan meraih kejayaan di hadapan musuh-musuhnya. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami adalah suatu kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam niscaya Allah akan menghinakan kami.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak). Dengan ilmu itulah seorang akan bisa membedakan antara keimanan dan kekafiran, antara tauhid dan kesyirikan, antara ketakwaan dan kefajiran. Oleh sebab itu setiap pagi seusai sholat subuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh bagi kita untuk berdoa kepada Allah mmeinta 3 hal; salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat.

Bahkan dalam setiap raka’at sholat kita meminta hidayah kepada Allah agar bisa berjalan di atas jalan kebenaran yaitu shirothol mustaqim. Karena bagaimana mungkin seorang hamba bisa beribadah dan mendapatkan kebahagiaan tanpa bimbingan hidayah dari Allah dan pertolongan-Nya?

Wallahul musta’aan. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *