Bersaudara Karena Tauhid

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, salah satu nikmat terbesar yang diberikan kepada kaum beriman adalah nikmat tauhid. Bahkan inilah pokok dari segala kenikmatan dan kebahagiaan. Di atas kalimat tauhid inilah ajaran Islam tegak dan dibangun.

Ketika mengutus sahabat Mu’adz ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tauhid adalah prioritas pertama dan paling utama. Tidak akan bisa memperbaiki keadaan umat ini kecuali dengan dakwah tauhid; sebagaimana telah dilakukan oleh para rasul ‘alaihimus salam dan para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in.

Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” Generasi pertama umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan aqidah dan keimanan; karena mereka mencintai Allah dan rasul-Nya dan membenci kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu sang amirul mukminin kala itu mengatakan, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini; maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam pasti Allah akan menghinakan kami.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Inilah bukti kedalaman fikih dan ilmu para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka sama sekali tidak ingin mencari kemuliaan dengan cara-cara yang tidak islami. Mereka hanya ingin menggapai kemuliaan dengan tauhid dan keimanan. Sebab kemuliaan dan kejayaan tidak bisa diraih tanpa tauhid dan aqidah yang lurus. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang; yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tidak ada seorang pun rasul melainkan mendakwahkan tauhid kepada umatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

Bahkan perjumpaan dengan Allah -dalam kenikmatan surga di akhirat- tidak bisa diperoleh kecuali dengan amal salih dan membersihkan diri dari kesyirikan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Karena itulah kalimat tauhid harus diwujudkan di dalam kehidupan, bukan hanya sekedar diucapkan dengan lisan. Tauhid harus dilandasi dengan keyakinan dan tidak boleh dicampuri dengan keragu-raguan. Tauhid juga harus disertai dengan keikhlasan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan tulus karena mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu ibadah harus dimurnikan kepada Allah, tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain-Nya, karena hal itu membatalkan kalimat tauhid laa ilaha illallah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan berdoa/beribadah kepada tandingan/sesembahan selain Allah maka dia masuk neraka.” (HR. Bukhari)

Ibadah memiliki bentuk yang beraneka ragam, baik itu berupa ucapan lisan, keyakinan hati, atau amal anggota badan. Diantara bentuk ibadah itu adalah berdoa, istighotsah, tawakal, sujud, sholat, bernadzar, menyembelih, dan tawaf. Oleh sebab itulah seorang muslim tidak akan rela menujukan ibadahnya kepada selain Allah Rabb pencipta alam semesta. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amalan untuk-Nya dengan hanif/bertauhid…” (al-Bayyinah : 5). Para ulama menjelaskan bahwa orang yang hanif adalah yang menghadap/mengabdi kepada Allah semata dan berpaling dari segala bentuk pujaan selain-Nya.

Aqidah Islam inilah yang mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar. Aqidah yang mempertemukan seorang Bilal dari Habasyah dengan seorang Salman dari Persia dan para pembesar Quraisy dari Bani Hasyim yang memeluk Islam. Kalimat tauhid adalah asas Islam dan pondasi ketakwaan. Di atas kalimat tauhid inilah umat Islam menjalin persaudaraan dan persatuan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin yang satu dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan; yang satu sama lain saling memperkuat.” (HR. Bukhari)

Akan tetapi sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan ketika banyak diantara kaum muslimin sendiri justru merasa asing dengan tauhid dan ajaran Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan, “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi terasing sebagaimana awal kedatangannya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim). Ajakan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dianggap hal yang aneh dan merusak tradisi. Sehingga yang laris manis adalah berbagai bentuk pengagungan dan pemujaan kepada kubur-kubur yang dikeramatkan, persembahan kepada jin penunggu laut selatan, atau jin penunggu lahan yang hendak didirikan di atasnya jembatan, gedung, atau bandara. Subhanallah!

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim). Orang yang dilaknat oleh Allah artinya dijauhkan dari rahmat dan kasih sayang-Nya. Lantas bagaimana mungkin kita mengharapkan datangnya kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan apabila keyakinan dan amalan kaum muslimin terkotori dengan khurafat dan kesyirikan?! Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka melakukan kesyirikan pasti akan lenyap semua amal yang mereka kerjakan.” (al-An’aam : 88)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, marilah kita bercermin dan memeriksa amal dan perbuatan kita selama ini. Jangan-jangan apa yang kita sangka mendekatkan diri kepada Allah itu justru penyebab jauhnya kita dari rahmat Allah. Kita mengaku muslim tetapi aqidah tauhid tidak kita pahami dan tidak kita agungkan dengan semestinya. Kita mengaku beriman tetapi ibadah kita terkontaminasi dengan syirik dan kemunafikan. Hasan al-Bashri rahimahullah mengingatkan, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau sekedar membaguskan penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” 

Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan; mereka mencintainya sebagaimana kecintaan kepada Allah. Adapun orang-orang beriman teramat dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165)

Tauhid adalah pokok ajaran Islam. Dan Islam menuntut kita untuk mendatangkan kebaikan dan perbaikan bagi kehidupan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang membuat selamat kaum muslimin yang lain dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata-kata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidakkah kita ingat gambaran tentang kaum munafik di dalam al-Qur’an? Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi” mereka justru menjawab, “Sesungguhnya kami inilah orang-orang yang melakukan perbaikan…” Apabila kita menghendaki kebaikan dan perbaikan bagi negeri ini, maka tauhidlah yang harus kita prioritaskan…

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpesan kepada Mu’adz untuk mendahulukan dakwah tauhid sebelum ajakan untuk sholat dan zakat adalah orang yang tidak memahami realita masyarakat? Apakah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajari Mu’adz untuk memprioritaskan dakwah tauhid adalah orang yang ingin mengobrak-abrik persatuan umat? Aduhai, mengapa kita lalaikan dakwah tauhid ini hanya demi fanatisme kelompok dan golongan?!

Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mengagungkan tauhid dalam kehidupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Ditulis oleh al-Faqir ila Rahmati Rabbihi Ari Wahyudi –waffaqahullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *