Beribadah di Tepian

Bismillah.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang-orang yang beribadah kepada Allah di tepian. Apabila menimpanya kebaikan dia pun merasa tenang dengannya. Akan tetapi apabila menimpanya fitnah/ujian maka dia pun berpaling ke belakang. Dia pun merugi dunia dan akhirat, dan itulah kerugian yang sangat nyata.” (al-Haj : 11)

Para ulama tafsir, diantaranya Qatadah dan Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud beribadah kepada Allah di tepian yaitu di atas keragu-raguan. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang munafik. Apabila urusan dunianya baik maka dia pun beribadah tetapi apabila urusan dunianya rusak maka dia pun berubah. Bahkan pada akhirnya dia pun kembali kepada kekafiran. Mujahid menafsirkan ‘berpaling ke belakang’ maksudnya adalah menjadi murtad dan kafir (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/400-401)

Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Sebagian manusia apabila terkena fitnah/cobaan-cobaan maka dia pun menyimpang dari agamanya, hal itu disebabkan dia sejak awal tidak berada di atas pondasi yang benar -dalam beragama, pent-…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 10)

Beliau juga menjelaskan, “Fitnah-fitnah ini apabila datang maka manusia menghadapinya dengan sikap yang berbeda-beda. Ada diantara mereka yang tetap tegar di atas agamanya walaupun dia harus mendapati kesulitan-kesulitan bersama itu, dan ada pula orang yang menyimpang; dan mereka yang semacam itu banyak…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan, hlm. 11)

Hasan al-Bashri menjelaskan termasuk golongan orang yang beribadah kepada Allah di tepian itu adalah orang munafik yang beribadah kepada Allah dengan lisannya, tetapi tidak dilandasi dengan hatinya (lihat Tafsir al-Baghawi, hlm. 859-860)

Syaikh as-Sa’di menafsirkan bahwa termasuk cakupan ayat ini adalah orang yang lemah imannya. Dimana imannya itu belum tertanam di dalam hatinya dengan kuat, dia belum bisa merasakan manisnya iman itu. Bisa jadi iman masuk ke dalam dirinya karena rasa takut -di bawah tekanan- atau karena agama sekedar menjadi adat kebiasaan sehingga membuat dirinya tidak bisa tahan apabila diterpa dengan berbagai macam cobaan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 534)

Fitnah Dunia

Diantara bentuk fitnah yang membuat banyak orang berpaling dari agama itu adalah dunia; berupa harta, kedudukan, dan semacamnya. Ada tidaknya ia menjadi sebab banyak orang terfitnah, baik terfitnah ketika dunianya rusak dan berkurang atau sebaliknya terfitnah karena dunianya diberi kelapangan dan kekayaan yang melimpah ruah. Hal ini telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang paling aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah ketika dunia ini dibukakan untuk kalian sebagaimana ia telah dibukakan untuk orang-orang sebelum kalian. Maka kalian pun berlomba-lomba untuk meraupnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraupnya. Maka dunia itu membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka.” (HR. Bukhari)

Syaikh Abdul Karim al-Khudhair memaparkan, “Ujian dalam bentuk kesulitan/musibah bisa dilalui oleh banyak orang. Akan tetapi ujian dalam bentuk kelapangan, dan terbukanya dunia, begitu pula kekayaan, betapa sedikit orang yang bisa melampauinya. Ini merupakan perkara yang bisa disaksikan oleh semuanya. Kenyataan yang terjadi pada umumnya kaum muslimin ketika dibukakan untuk mereka dunia ternyata mereka justru menyepelekan perintah-perintah Allah ‘azza wa jalla dan berpaling dari jalan kebenaran. Dan mereka pun menukar nikmat yang Allah berikan dengan kekafiran yang mereka kerjakan…” (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 13)

Dari sinilah saudaraku yang dirahmati Allah kita bisa mengenali bahwa pada hakikatnya kelapangan harta atau sempitnya harta adalah ujian bagi kita. Apakah dengan harta yang melimpah kita bisa tampil menjadi hamba yang bertakwa dan bersyukur kepada Allah? Ataukah dengan nikmat itu kita tenggelam dalam foya-foya dan melalaikan agama? Begitu pula ketika Allah sempitkan harta, apakah kita termasuk orang yang sabar menjalankan perintah agama, ataukah justru sebaliknya; kita tinggalkan ajaran agama demi menjilat-jilat di belakang ambisi-ambisi dunia?!

Dengan demikian kita bisa menarik sebuah kesimpulan, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Karim al-Khudhair bahwa sesungguhnya hakikat fitnah yang merusak itu adalah segala sesuatu yang memalingkan dan menyibukkan diri kita sehingga lalai dari melakukan apa-apa yang membuat Allah ridha kepada kita (lihat Syarh Kitab al-Fitan min Shahih al-Bukhari, hlm. 14)

Pentingnya Aqidah di Zaman Fitnah

Dari sedikit paparan yang kita nukilkan dari para ulama di atas setidaknya kita bisa mengambil faidah bahwa di masa-masa yang penuh dengan fitnah; apakah itu fitnah dunia dengan terbukanya berbagai kesenangan dunia atau sebaliknya dengan banyaknya musibah dan bencana, atau fitnah itu berupa penyimpangan pemikiran dan syubhat-syubhat yang menyesatkan, seorang muslim membutuhkan bantuan dan hidayah dari Allah untuk bisa tegar dan istiqomah di atas agamanya.

Oleh sebab itu setiap hari kita diperintahkan untuk berdoa meminta hidayah kepada Allah agar diberi petunjuk dan bimbingan agar bisa berjalan di atas jalan yang lurus; jalannya kaum beriman, jalan insan bertauhid dan jalan ketakwaan. Kita meminta kepada Allah hidayah shirothol mustaqim. Tidak kurang tujuh belas kali dalam sehari semalam. Sementara hidayah itu akan Allah berikan dan tambahkan kepada mereka yang memiliki hati yang menerima kebenaran dan bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-An’am : 82)

Untuk bisa membersihkan hati dan amalannya dari syirik dan kezaliman seorang muslim harus memahami aqidah tauhid yang murni dari penyimpangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ilmu aqidah adalah ilmu agama yang paling agung dan paling wajib dipahami oleh setiap muslim dan muslimah. Oleh sebab itu para ulama menyebut ilmu aqidah sebagai fikih akbar atau ilmu fikih yang paling besar. Aqidah adalah pondasi agama dan syarat diterimanya amalan. Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik pasti akan lenyap semua amalan yang pernah mereka kerjakan itu.” (al-An’am : 88)

Maka tidaklah mengherankan apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, “Tekun beribadah di masa berkecamuknya fitnah adalah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim). Tidak mungkin seorang muslim bisa menjalankan ibadahnya dengan ikhlas dan sesuai tuntunan kecuali apabila ia melandasi ibadahnya dengan aqidah yang lurus dan tauhid yang murni. Dengan aqidah itulah ia bisa bersabar di saat tertimpa musibah dan menjadi hamba yang bersyukur di saat nikmat-nikmat tercurah kepadanya. Dengan aqidah itu pula dia akan terus menghiasi hati dan lisannya dengan istighfar atas dosa-dosa dan kesalahannya. Dengan aqidah itu pula ia akan selalu menggantungkan hatinya kepada Allah dan meninggalkan sesembahan selain-Nya.   

Sesungguhnya yang menjadi ukuran bukanlah banyak sedikitnya amalan. Akan tetapi sejauh mana amal itu ikhlas dan mengikuti tuntunan. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim). Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim). Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, bahwa sederhana di dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah. Sebagaimana mereka juga mengingatkan bahwa amalan yang kecil bisa menjadi besar karena niatnya, begitu pula sebaliknya amal-amal besar bisa menjadi kecil -bahkan sirna- gara-gara niatnya yang tidak ikhlas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *