Topik pembahasan :
– Pengertian istilah al-kalimah
– Macam-macam al-kalimah
– Isim dan contohnya
– Fi’il dan contohnya
– Harf dan contohnya
– Pengertian istilah al-jumlah/al-kalam
– Mengenal jumlah ismiyah
– Mengenal jumlah fi’liyah
– Perbedaan isim dan fi’il
– Keadaan akhir kata
– Mu’rob dan mabni
– Perbedaan nahwu dan shorof
– Tujuan belajar nahwu dan shorof
al-Kalimah adalah istilah kata di dalam ilmu kaidah bahasa arab. Jadi, di dalam ilmu kaidah bahasa arab suatu kata disebut dengan nama ‘al-kalimah’. al-Kalimah ada tiga macam; isim, fi’il, dan harf.
Isim adalah kata benda, fi’il kata kerja, dan harf adalah kata sambung atau kata penghubung. Contoh isim misalnya : kitabun (buku), baitun (rumah), syajaratun (pohon), rojulun (lelaki). Contoh fi’il misalnya : kataba (menulis), jalasa (duduk), dzahaba (pergi). Contoh harf misalnya : fii (di dalam), ‘ala (di atas), min (dari), li (untuk atau milik).
al-Jumlah atau al-Kalam adalah susunan kata yang menjadi sebuah kalimat sempurna. Disebut juga dengan istilah jumlah mufidah. Suatu kalimat yang diawali dengan isim (kata benda) disebut dengan istilah jumlah ismiyah. Adapun kalimat yang diawali dengan fi’il (kata kerja) disebut dengan istilah jumlah fi’liyah. Contoh jumlah ismiyah ‘alhamdu lillah’ (segala puji bagi Allah). Adapun contoh jumlah fi’liyah ‘dzahaba zaidun’ (telah pergi Zaid).
Perbedaan isim dengan fi’il adalah isim tidak berkaitan dengan waktu, sedangkan fi’il berkaitan dengan waktu. Salah satu ciri isim adalah bisa diberi alif lam (al) di bagian awal. Selain itu, isim juga bisa diakhiri dengan tanwin. Berbeda dengan isim, fi’il tidak bisa diakhiri dengan tanwin.
Keadaan akhir kata dalam bahasa arab ada dua; tetap dan berubah. Tetapnya akhir kata disebut dengan istilah binaa’ -dengan akhiran hamzah, bukan ‘ain- sedangkan berubahnya akhir kata disebut dengan istilah i’rob -dengan ‘ain sebelum huruf ro’-. Kata yang akhirannya bisa berubah disebut mu’rob, sedangkan kata yang akhirannya tetap dinamakan mabni.
Contoh kata yang mu’rob adalah ‘zaid’; ia bisa berubah harokat akhirnya -sehingga dibaca zaidun, zaidan, atau zaidin– dengan harokat dhommah, fat-hah, atau kasroh. Adapun kata yang mabni misalnya ‘dzahaba’ -artinya ‘telah pergi’- akhirannya tetap selalu di-fat-hah, tidak bisa berubah menjadi dhommah, sukun, atau yang lainnya.
Ilmu nahwu membahas keadaan akhir kata di dalam kalimat; apakah ia tetap ataukah berubah, dan apabila berubah bagaimana bentuk perubahannya, apakah harus didhommah, atau di-fat-hah, atau dikasroh, atau disukun. Kata ini menempati jabatan sebagai apa; subjek ataukah objek, dsb. Ini semua dibahas dalam ilmu nahwu. Adapun ilmu shorof membahas pembentukan kata atau perubahan dari satu kata menjadi kata-kata lain -dari akar kata yang sama-.
Misalnya dari kata kerja lampau diubah menjadi kata kerja sekarang, lalu diubah menjadi perintah, dsb. Kata ‘kataba’ misalnya adalah bentuk kata kerja lampau yang artinya ‘telah menulis’. Ia bisa diubah menjadi ‘yaktubu’ dalam bentuk kata kerja sekarang yang artinya ‘sedang menulis’. Ia juga bisa diubah menjadi ‘uktub’ dalam bentuk perintah yang artinya ‘tulislah’. Inilah letak perbedaan antara materi pembahasan ilmu nahwu dengan ilmu shorof.
Tujuan belajar ilmu nahwu dan shorof adalah untuk bisa memahami maksud dari kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan bekal nahwu dan shorof seorang muslim akan bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu nahwu dan shorof termasuk ilmu yang paling dasar dalam kaidah bahasa arab dan hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Mempelajarinya termasuk amal yang sangat utama, karena sesungguhnya bahasa arab itu merupakan bagian dari agama Islam. Sebagaimana perkataan Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu yang sudah masyhur, “Pelajarilah bahasa arab, karena sesungguhnya ia adalah bagian dari agama kalian.”