Salah satu bentuk kesyirikan adalah meminta (baca: berdoa) bebagai kebutuhan kepada orang yang sudah mati dan beristighotsah kepadanya. Ini adalah sumber bertebarnya syirik di dunia. Padahal, orang yang sudah mati sudah terputus amalnya dan tidak menguasai bagi dirinya sendiri kemanfaatan maupun bahaya apalagi untuk orang yang beristighotsah atau meminta syafa’at kepadanya (lihat ad-Durr an-Nadhidh ‘ala Abwab at-Tauhid, hal. 121)
Orang-orang musyrik masa silam berdoa kepada para malaikat agar memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Syaikh Sulaiman bin ‘Abdullah rahimahullah mengatakan, “Apabila mengangkat para malaikat sebagai pemberi syafa’at tandingan selain Allah adalah kesyirikan, maka bagaimanakah lagi dengan perbuatan orang yang menjadikan orang-orang yang sudah mati -sebagai pemberi syafa’at- sebagaimana yang dilakukan oleh para pemuja kubur?!” (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid [1/517])
Syafa’at adalah milik Allah, bukan milik para malaikat, nabi atau wali. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semua syafa’at itu.” (QS. Az-Zumar: 44). Oleh sebab itu tidak boleh meminta syafa’at kecuali kepada Allah. Tidak ada yang bisa memberikan syafa’at kecuali dengan izin Allah, karena syafa’at adalah milik-Nya. Bahkan, berdoa kepada para wali (baca: sesembahan selain Allah) demi mendapatkan syafa’at dan mendekatkan diri kepada Allah itulah sebab mengapa Allah mengkafirkan orang-orang musyrik zaman dahulu (lihat penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hal. 79-80)
Syafa’at hanya diberikan kepada orang yang bertauhid. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa/permintaannya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui tentang syafa’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.” Orang-orang pun berpaling kepada beliau. Mereka berkata, “Beritahukanlah kepada kami, semoga Allah merahmatimu.” Abu Hurairah berkata: Yaitu beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah setiap muslim yang beriman kepada-Mu dan tidak mempersekutukan-Mu dengan sesuatu apapun.” (HR. Ahmad, sanadnya dinilai hasan, lihat al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 49)
Ini menunjukkan, alasan bahwa para malaikat, nabi atau wali bisa memberikan syafa’at di sisi Allah tidaklah bisa dijadikan sebagai hujjah/dalil untuk membolehkan berdoa [meminta syafa’at] kepada mereka karena dua sebab:
Pertama. Syafa’at bukan milik mereka, tetapi milik Allah semata (baca: az-Zumar 44). Sehingga memintanya kepada selain Allah adalah jelas sebuah kekeliruan.
Kedua. Berdoa kepada selain Allah adalah syirik, karena doa adalah ibadah dan memalingkan ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan (baca: al-Jin 19). Sehingga dengan berdoa kepada selain Allah -untuk meminta syafa’at- justru membuat mereka terhalang dari syafa’at. Sebab syafa’at tidak akan diberikan kepada orang musyrik.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15, lihat juga keterangan serupa oleh Syaikh al-Utsaimin dalam Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 35)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mukminun: 117). Yang dimaksud dengan doa dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/367] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Orang-orang musyrik masa silam tidaklah berkeyakinan bahwa patung-patung atau berhala yang mereka sembah adalah yang menciptakan diri mereka atau pencipta langit dan bumi. Mereka juga tidak berkeyakinan bahwa patung-patung itu yang menurunkan hujan dari langit. Lalu mengapa mereka menyembah patung-patung itu? Maka mereka menjawab, “Agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah dan menjadi pemberi syafa’at untuk kami di sisi Allah.” Demikian sebagaimana diterangkan oleh Qatadah rahimahullah (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an oleh Imam al-Qurthubi [18/247])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa orang-orang musyrik kala itu membuat patung-patung mereka sebagai simbol dari malaikat yang mereka harapkan bisa memberikan syafa’at untuk mereka di sisi Allah demi memenuhi keinginan mereka semacam agar bisa mendapatkan kemenangan, melancarkan rizkinya, atau untuk mencapai berbagai keinginan dunia selainnya. Adapun mengenai hari pembalasan (kiamat) maka mereka tidak mempercayainya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [7/61-62] cet. At-Taufiqiyah)