Astaghfirullah

Bismillah.

Kalimat permohonan ampun cukup bervariasi. Diantara yang paling sering kita ucapkan adalah ‘astaghfirullah’ yang artinya, “Aku memohon ampunan kepada Allah.” Sesungguhnya di dalam istighfar ini tersimpan pelajaran yang penting dan berharga.

Kalau kita renungkan, ucapan ‘astaghfirullah’ merupakan sebuah pengakuan akan jati diri seorang hamba. Bahwa dirinya membutuhkan ampunan dari Rabbnya. Bahwa dirinya memiliki dosa dan kesalahan yang harus disesali dan ditinggalkan. Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa dosa-dosa itu mengotori dan bahkan bisa sampai mematikan hati pelakunya.

Nabi kita yang mulia ‘alaihis sholatu was salam telah mencontohkan untuk beristighfar dalam sehari bisa lebih dari tujuh puluh atau seratus kali. Pada akhir-akhir perjuangan beliau pun Allah perintahkan kepadanya untuk mensucikan Rabbnya dan memohon ampunan. Hal ini tentu bukan omong kosong atau basa basi belaka. Sejatinya ucapan istighfar itu memberikan tanda kepada kita bahwa terlalu banyak nikmat Allah yang belum kita sadari dan kita syukuri. Terlalu banyak keutamaan dari Allah yang kita sepelekan atau kita remehkan. Bisa jadi ketaatan kita selama ini penuh noda, cacat, dan berlumur kekurangan dan kerusakan dalam keadaan kita tidak menyadarinya.

Sikap dan cara pandang seperti inilah yang diistilahkan oleh para ulama -sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam al-Wabil ash-Shayyib- dengan ungkapan ‘muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal’ yaitu menelaah dan menyadari aib pada diri dan amal-amal kita. Sehingga kita akan mengetahui kadar dan posisi kita sebagai hamba yang harus tunduk dan merendah kepada Rabbnya. Bukan menjadi sosok manusia yang sombong dan durjana!

Salah seorang salaf mengatakan di akhir hayatnya, “Ya Allah, seandainya Engkau menghukum diriku niscaya Engkau tidak berlaku zalim, dan seandainya Engkau memaafkan kesalahan-kesalahanku sungguh Engkau telah memberikan karunia.” Hal ini merupakan gambaran akan kesadaran sepenuhnya bagaimana status dan kedudukan kita sebagai hamba Allah. Hamba yang semestinya tunduk, patuh dan merendah diri kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena itulah orang yang termulia bukanlah mereka yang berderet gelar atau bergudang-gudang hartanya, tetapi yang termulia adalah yang paling bertakwa.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan jasad kalian. Akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)  

Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Yang terbaik amalnya ialah yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan tuntunan. Inilah hakikat ketakwaan; karena tidaklah seorang dikatakan bertakwa kecuali dengan ikhlas beribadah kepada Allah serta mengikuti syari’at Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharap pahala Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan hukuman Allah.”

Untuk bisa mewujudkan ketakwaan itu manusia tidak bisa lepas dari istighfar dan taubat. Karena taubat itulah jalan menuju keberuntungan. Barangsiapa tidak mau bertaubat kepada Allah sesungguhnya ia termasuk pelaku kezaliman. Ia zalim karena tidak menyesali dan meninggakan dosanya, sehingga terjerumus dalam lembah maksiat tanpa mau berhijrah darinya. Kezaliman terhadap dirinya sendiri; dimana dia tidak menyadari akan kedudukan dan jati dirinya sehingga pada akhirnya dia pun tidak bisa menghargai dan memuliakan Rabbnya.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami…

www.al-mubarok.com

# Ayo Bantu Dakwah!

NB : Donasi masih kami buka selama target belum terpenuhi, harap maklum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *