Secara bahasa, ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Adapun menurut istilah agama, ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan kepada Allah dengan landasan cinta dan pengagungan. Ibadah ini mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah; yang tampak/lahir dan yang tersembunyi/batin.
Dengan demikian, sholat, puasa, zakat, haji, sedekah, berbuat baik kepada tetangga, berbakti kepada orang tua dan menyambung tali kekerabatan adalah ibadah. Begitu pula, rasa takut kepada Allah, berharap kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dan tawakal kepada-Nya juga merupakan bentuk ibadah.
Seluruh ajaran agama telah tercakup dalam ibadah. Rukun islam yang mencakup; syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji; ini semua tercakup dalam ibadah. Demikian pula rukun iman -iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir- adalah termasuk dalam cakupan ibadah. Begitu pula ihsan; yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau senantiasa merasa diawasi Allah; ini pun bagian dari ibadah.
Ibadah mencakup segala perintah dan larangan Allah. Maksudnya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan adalah ibadah. Perintah Allah mencakup hal yang wajib dan yang sunnah/mustahab. Larangan Allah mencakup hal yang haram dan yang makruh/dibenci.
Seorang muslim akan mendapatkan pahala apabila dia melaksanakan perintah dan menjauhi larangan karena tunduk kepada aturan-aturan Allah. Apabila dia melakukan perintah karena mencari sanjungan atau meninggalkan larangan karena tidak ada kesempatan maka dia tidak akan mendapat pahala. Amal-amal itu hanya akan diberi pahala jika disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarat Benarnya Ibadah
Ibadah hanya akan menjadi benar apabila dilakukan dengan ikhlas untuk Allah dan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, ibadah akan diterima apabila dilakukan oleh orang yang beriman, apabila ia dikerjakan oleh orang kafir atau murtad maka ibadah-ibadahnya tidak diterima.
Ikhlas merupakan syarat diterimanya ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dengan mempersekutukan bersama-Ku sesembahan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Selain itu, amal juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya maka itu pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Amal yang ikhlas tetapi tidak mengikuti tuntunan maka tidak diterima. Demikian pula amal yang mengikuti tuntunan tetapi tidak ikhlas; juga tidak diterima di sisi Allah. Amal hanya akan diterima memenuhi kedua syarat itu. Inilah kandungan dari firman Allah (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (Al-Mulk : 2)
Yang dimaksud amal yang terbaik -sebagaimana ditafsirkan oleh Fudhail bin Iyadh, seorang ulama salaf- adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas yaitu dikerjakan karena Allah, sedangkan benar maksudnya sesuai dengan sunnah/tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.