Antara Nikmat dan Petaka

Bismillah

Segala puji bagi Allah atas segala nikmat yang dicurahkan oleh-Nya kepada kita. Kenikmatan yang sedemikian banyak sampai kita pun tidak mungkin bisa menghingganya. Nikmat dari Allah yang menuntut ketulusan dan kejujuran hati seorang hamba akan anugerah dan pemberian Rabbnya kepada dirinya.

Nikmat dari Allah yang harus terungkap dengan sanjungan dan pujian lisan kita, yang dilandasi dengan rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya. Nikmat dari Allah yang datang silih berganti walaupun manusia kerapkali tidak menyadari. Nikmat dari Allah itu lah yang semestinya digunakan untuk mengabdi dan tunduk kepada keinginan dan keridhaan Ilahi.

Allah jalla sya’nuhu telah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)

Ibadah kepada Allah -dengan segala bentuknya- pada hakikatnya merupakan bagian dan konsekuensi dari syukur di dalam hati. Bahkan ibadah-ibadah itu semuanya hanya akan diterima di sisi Allah jika dilandasi dengan ketakwaan hati, bukan semata-mata ketakwaan fisik lahiriah belaka.

Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama dengan penuh hanif, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah : 5)

Syukur kepada Allah merupakan bentuk ketaatan kepada Dzat yang memberikan nikmat. Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at-Nya. Termasuk dalam syukur kepada nikmat Allah ini adalah dengan menerapkan hukum dan syari’at Allah di muka bumi, karena sesungguhnya segala bentuk kekafiran dan kedurhakaan adalah sebab datangnya bencana dan malapetaka. Meskipun manusia bergelimang dengan harta, kemegahan, kecanggihan teknologi dan kemajuan industri.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh seorang ulama bernama Abu Hazim rahimahullah, “Setiap kenikmatan yang tidak mendekatkan diri kepada Allah maka itu adalah petaka.”

Kebaikan dan kebahagiaan selalu Allah sandingkan dengan iman dan amal salih. Sebagaimana ayat-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang beramal salih baik dari kalangan lelaki atau peremupan dalam keadaan dia beriman maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan pasti Kami akan membalasnya kelak dengan ba-lasan yang lebih baik dari apa ayang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl : 97)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersektukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apappun.” (Al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan daling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr : 1-3)

Nikmat Paling Besar

Membahas tentang syukur tentu tidak bisa lepas dari besarnya nikmat. Semakin besar nikmat yang diberikan kepada kita maka lebih besar pula konsekuensi dan pengaruh yang timbul dari keberadaan atau ketiadaannya. Seperti halnya nikmat Islam, yang ini merupakan sebesar-besar nikmat bagi umat manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima, dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85)

Kebahagiaan terbesar diperoleh hanya dengan nikmat terbesar. Ini artinya kebaikan dan keselamatan semuanya terikat dan terkembang dari nikmat Islam, nikmat tauhid, dan nikmat hidayah. Betapa tidak, karena sesungguhnya kesengsaraan dan keburukan adalah akibat berpaling dari islam, tauhid, dan hidayah. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Hal ini kembali mengingatkan kepada kita akan poin penting sebelumnya, bahwa kebaikan dan kebahagiaan adalah sandingan iman dan amal salih. Tanpa iman dan amal salih maka tiada kebaikan dan kebahagiaan. Sebagaimana tanpa islam, tauhid, dan hidayah maka tidak akan tercapai keselamatan dan kesuksesan. Bahkan, manisnya keimanan hanya bisa dirasakan oleh orang yang hatinya telah tercelup oleh akidah islam dan berhias dengan nilai ketakwaan.

Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Orang-orang yang malang diantara penghuni dunia; mereka telah pergi meninggalkan dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat dan paling lezat di dalamnya.” Teman-temannya bertanya, “Apakah hal itu, wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah, mencintai-Nya dan merasa tentram bersama-Nya.”

Kecintaan kaum salih terdahulu kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada Islam dan kejayaan umat adalah sebuah fakta sejarah dan lembaran emas perjalanan hidup yang sulit untuk dilupakan. Pengorbanan para generasi terdahulu umat ini dari kalangan Muhajirin dan Anshar telah menuai predikat tinggi dan sanjungan luar biasa dari Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (At-Taubah : 100)

Tidak lain dan tidak bukan, kemuliaan yang diperoleh oleh Muhajirin dan Anshar adalah karena nikmat Islam, nikmat tauhid, dan nikmat hidayah yang Allah curahkan kepada mereka. Dengan bahasa yang lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa ‘iman dan amal salih’ itulah yang membawa mereka menuju gerbang kebahagiaan dan negeri kemuliaan. Dan keutamaan yang serupa tentu Allah akan berikan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik di sepanjang jaman. Inilah keutamaan dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui….

Oleh sebab itu, Imam Malik rahimahullah berkata, “Tiada akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”

Semoga kita termasuk orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah itu dengan meniti jalan kaum Muhajirin dan Anshar……

Wallahu waliyyut taufiq.

Yogyakarta, Dzulhijjah 1436 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *