Bismillah.
Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, tidaklah diragukan tentang besarnya keutamaan menimba ilmu agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu [agama] niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan, Allah jalla wa ‘ala telah memuji para ulama dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan juga orang-orang yang diberikan ilmu berderajat-derajat.” (QS. al-Mujadilah : 11)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama/ahli ilmu.” (QS. Fathir)
Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu al-Kitab dan as-Sunnah. Ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya. Ilmu yang sebagaimana digambarkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakikat ilmu itu adalah khosy-yah/rasa takut kepada Allah.”
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sarana untuk menimba ilmu dan menambah pemahaman di masa kita sekarang ini sangatlah banyak. Sungguh sebuah nikmat yang sangat besar dari Allah ta’ala kepada kita. Akan tetapi kita dapati betapa kita ini tidak pandai bersyukur kepada Allah atas nikmat dan karunia-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan betapa sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Dua buah nikmat yang banyak orang tertipu karenanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Nikmat waktu luang dan kesehatan -ditambah lagi dengan nikmat kemajuan teknologi di masa sekarang ini- sungguh telah banyak melalaikan umat manusia. Terlebih lagi para pemuda, baik pelajar ataupun mahasiswa, atau kaum muda secara umum.
Semangat untuk belajar Islam seolah menjadi barang langka dan benda antik yang sulit dicari dimana-mana. Kita dapati para pemuda hanyut dengan arus gaya hidup materialistik dan tenggelam dalam kesia-siaan. Padahal, Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-dzariyat : 56)
Padahal, Imam Bukhari rahimahullah telah menegaskan di dalam kitab Sahihnya -di dalam Kitab al-‘Ilmi- Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Manusia jauh lebih membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Makanan dan minumam dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”
Meskipun demikian, kita dapati anak-anak muda -demikian pula banyak diantara orang dewasa dan bapak-bapak tua- yang belum bisa merasakan lezatnya menimba ilmu agama. Hidup berlalu begitu saja. Hidup hanya datang dari kasur, datang dari meja makan, datang dari lemari es, datang dari sumur, datang dari cahaya matahari dan listrik, sementara mereka melupakan kehidupan yang sejati dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan seorang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan antara orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas, bagaimanakah kiranya keadaan seekor ikan apabila dipisahkan dari air?” Tentunya ikan itu lama-kelamaan akan mati!
Demikianlah gambaran kehidupan dunia tanpa petunjuk dan bimbingan Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti seekor ikan tanpa air yang meliputi. Seperti seekor burung yang tak memiliki sayap untuk terbang dan melintasi langit dan menyapa hangatnya mentari. Dia hanya terkungkung dan tak mampu bergerak. Tidak mengerti untuk apa dia hidup. Tidak mengenali Rabb yang selama ini selalu memberikan nikmat kepada dirinya. Tidak mengenali agama yang selama ini menghiasi kartu tanda penduduknya kecuali sekedar namanya. Tidak mengenali Nabi yang membawa cahaya Islam ini ke dalam lembaran sejarah umat manusia kecuali sekedar ucapan syahadat yang sering dia baca.
Saudaraku, semoga Allah merahmatimu. Tanpa ilmu, maka seorang hamba akan terus terombang-ambing dalam fitnah; apakah fitnah dunia, fitnah syahwat, atau fitnah syubhat. Bahkan fitnah popularitas dan juga fitnah perselisihan dan pertikaian yang seolah tidak akan pernah ada ujung dan kesudahannya. Tidakkah kita ingat, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beribadah di tengah berkecamuknya fitnah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)
Bagaimanakah anda hendak beribadah di saat fitnah melanda dan membanjiri segala sudut kehidupan kita, apabila anda tidak membekali diri dengan ilmu, terus menggalinya sebagaimana halnya seorang pencari harta karun yang sangat berambisi mendapatkan harta dan kekayaan di dalam tanah -yang entah ada atau hanya sekedar imajinasi belaka-. Padahal, ilmu yang diajarkan oleh para ulama kita sangatlah berharga dan jelas manfaatnya. Jauh lebih berharga daripada pundi-pundi emas yang dikejar-kejar oleh manusia. Jauh lebih mulia daripada kedudukan dan jabatan yang membuat orang berebut untuk mendapatkannya. Ilmu ini adalah ruh, cahaya, dan udara di dalam kehidupan setiap hamba.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi waktu. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugia, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr : 1-3)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan -dalam Ighatsah al-Lahfan- bahwa ‘saling menasihati dalam kebenaran’ adalah obat dan senjata untuk menghadapi fitnah syubhat, sedangkan ‘saling menasihati dalam kesabaran’ adalah obat dan senjata untuk menghadapi fitnah syahwat. Sebagaimana yang diterangkan pula oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa kepemimpinan dalam agama ini hanya bisa diraih dengan kesabaran dan keyakinan.
Inilah kehidupan yang kita semua jalani sampai detik ini. Jika anda menemukan diri anda jauh dari ilmu, jauh dari iman, jauh dari ketaatan, jauh dari kesabaran, dan jauh dari dakwah di jalan Allah, maka ini adalah tanda-tanda kesengsaraan. Akan tetapi hal ini hanya akan bisa dirasakan oleh orang yang hatinya masih memiliki secercah kehidupan… Adapun orang yang hatinya telah mati oleh rudal-rudal syubhat dan tank-tank syahwat maka barangkali luka-luka berat yang dialaminya tiada lagi menyisakan rasa perih dan tersiksa… sebab ‘nyawanya’ telah tercabut dari badan dan seragamnya!!
Semoga renungan yang singkat ini bermanfaat. Yang benar dari Allah, dan yang salah adalah dari kami dan dari syaitan. Dan kami memohon ampun kepada Allah atas segala kekeliruan dan dosa kami. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[www.al-mubarok.com]