Allah Tidak Bermain-main

Bismillah. Wa billahi nasta’iinu.

Di dalam al-Qur’an Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi hanya untuk bermain-main.” (ad-Dukhan : 38)

Mengenai ayat ini, Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan : Allah ta’ala memberitakan tentang kesempurnaan qudrah-Nya dan kesempurnaan hikmah-Nya; bahwa Allah tidaklah menciptakan langit dan bumi sekedar untuk bermain-main, kesia-siaan dan tanpa tujuan/faidah. Bahkan Allah menciptakan keduanya dengan tujuan yang benar. Maksudnya penciptaan langit dan bumi dilandasi dengan kebenaran dan penciptaannya pun mengandung kebenaran. Allah menciptakan langit dan bumi supaya mereka (manusia) menyembah Allah semata tanpa ada sekutu. Allah ciptakan itu semua untuk memerintahkan para hamba, melarang mereka dan memberikan ganjaran pahala serta hukuman untuk pelakunya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 774)

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja/dalam keadaan sia-sia.” (al-Qiyamah : 36)

Imam Syafi’i rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud sia-sia adalah tidak diperintah dan tidak dilarang. Diriwayatkan oleh Abdu bin Humaid (lihat Fath al-Majid hal. 42)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan : Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah Allah yang telah disampaikan melalui lisan para rasul (lihat Fath al-Majid, hal. 41)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Beribadah kepada Allah adalah melakukan perintah dan meninggalkan larangan. Itulah hakikat agama Islam. Karena makna islam adalah pasrah kepada Allah yang mengandung puncak ketundukan, perendahan diri dan kepatuhan (lihat Fath al-Majid, hal. 42)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah bukakan untuknya pintu perendahan diri dan ketundukan serta sikap terus-menerus kembali kepada Allah, merasa butuh kepada-Nya, dia pun selalu melihat aib/cacat dan kekurangan dirinya, kebodohan, kezaliman dan pelanggaran yang telah dia kerjakan selama ini. Di samping itu dia juga selalu menyaksikan betapa besar karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, betapa luas kebaikan, rahmat dan kedermawanan-Nya. Dia pun selalu mengingat betapa cukup/kaya dan mahaterpuji Allah atas segala perbuatannya. Maka orang yang mengenal Allah berjalan menuju Allah diantara dua belah sayap ini (menyadari aib diri dan mengingat besarnya nikmat Allah, pent). Tidak bisa dia berjalan tanpa kedua-duanya. Kapan saja luput salah satunya maka dia seperti seekor burung yang telah kehilangan salah satu sayapnya (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 10)

Perpustakaan al-Mubarok.

Rabu 7 Syawwal 1442 H / 19 Mei 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *