oleh : Abu Mushlih
Bismillah.
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
Bida’ adalah bentuk jamak dari kata bid’ah. Ia merupakan segala sesuatu yang tidak ada contoh yang mendahuluinya. Oleh sebab itu secara bahasa, bid’ah ini mencakup segala hal baik yang terpuji maupun tercela. Adapun dalam urf/kebiasaan ahli syari’at maka kata bid’ah ini khusus mencakup perkara yang tercela, apabila ia disebutkan dalam kerangka perkara yang terpuji maka maksudnya adalah penggunaan istilah bid’ah secara bahasa.
[lihat Fath al-Bari, 13/291-292]
Beliau rahimahullah juga menyatakan :
Bid’ah dalam urf syari’at adalah tercela, berbeda dengan istilah bid’ah secara bahasa. Karena segala perkara yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya -secara bahasa- dinamakan dengan bid’ah. Baik hal itu terpuji atau pun tercela….
[lihat Fath al-Bari, 13/266-267]
Sehingga pembagian bid’ah menjadi dua -yaitu terpuji dan tercela- ini adalah penggunaan istilah bid’ah secara bahasa -yaitu mencakup segala hal yang baru-, bukan istilah bid’ah dalam kacamata syari’at. Inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i rahimahullah. Beliau (Imam Syafi’i) mengatakan -sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar- :
Bid’ah itu ada dua; yang terpuji dan yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan sunnah [tuntunan] maka itu adalah terpuji. Adapun apa-apa yang bertentangan dengan sunnah maka itu adalah tercela. [lihat Fath al-Bari, 13/267]
Inilah yang dipahami oleh Imam Ibnu Hajar rahimahullah. Oleh sebab itu beliau mengatakan ketika menjabarkan berbagai bentuk penyimpangan ajaran dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan :
Oleh sebab itu orang yang berbahagia adalah yang berpegang teguh dengan apa-apa yang menjadi pegangan dan ajaran kaum salaf serta menjauhi segala hal baru -dalam agama- yang diada-adakan oleh kaum khalaf… [lihat Fath al-Bari, 13/267]
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pada dasarnya Ibnu Hajar sendiri tidak menyetujui adanya bid’ah hasanah dalam istilah syari’at. Oleh sebab itu apabila beliau menyebutkan ada suatu perbuatan yang beliau namakan dengan istilah bid’ah hasanah maka ini maksudnya adalah bid’ah dalam pengertian bahasa [sesuatu yang baru], bukan dalam istilah syari’at, karena bid’ah dalam kacamata syari’at itu semuanya sesat.
Ketegasan Para Ulama Dalam Mengingkari Bid’ah
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Tidaklah datang kepada manusia suatu tahun kecuali mereka mengada-adakan bid’ah padanya dan mematikan sunnah. Sehingga merajalela lah bid’ah dan matilah sunnah-sunnah.” [lihat al-I’tisham [1/39]]
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencintai pembela bid’ah maka Allah akan menghapuskan amalnya dan Allah akan mencabut cahaya Islam dari dalam hatinya.” [lihat Min A’lam as-Salaf [2/47]]
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa yang mendukung pembela bid’ah sesungguhnya dia telah membantu untuk menghancurkan agama Islam.” [lihat Min A’lam as-Salaf [2/47]]
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46].
Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49]
Ibnul Majisyun berkata: Aku pernah mendengar Malik berkata, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam Islam suatu bid’ah yang dia anggap baik (baca: bid’ah hasanah), maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah. Sebab Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian.” Apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk ajaran agama, maka hari ini hal itu juga bukan termasuk agama.” [lihat al-I’tisham, [1/64-65]]
Abu Idris al-Khaulani rahimahullah berkata, “Sungguh apabila aku melihat api di dalam masjid yang tidak sanggup aku padamkan itu lebih aku sukai daripada melihat di dalamnya bid’ah yang aku tidak sanggup mengubahnya.” [lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25]
Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah pelaku bid’ah menambah kesungguh-sungguhan kecuali dia akan semakin bertambah jauh dari Allah.” [lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 33]
al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Semua orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru lalu dia sandarkan kepada agama padahal tidak ada dasar rujukannya di dalam agama maka itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya. Sama saja apakah hal itu terjadi dalam masalah keyakinan/akidah ataupun amalan, atau dalam hal ucapan lahir maupun batin.” [lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 26]
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma berkata, “Semua bid’ah itu sesat walaupun oang-orang menganggapnya sebagai kebaikan/hasanah.” [lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27]
Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” [lihat al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27]
# Sumber : Blog Terjemah Kitab Salaf