Diantara kaidah penting yang harus dipahami oleh setiap penggerak dakwah -bahkan oleh setiap muslim- adalah bahwa agama Islam ini dibangun di atas dua pondasi yang agung; yaitu ikhlas kepada Allah dan mutaba’ah kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya secara hanif…” (al-Bayyinah : 5). Demikian pula sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya setiap amal itu akan dinilai dengan niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam ayat lain, Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Seorang ulama salaf bernama Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan bahwa yang dimaksud terbaik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas ialah apabila amal itu dikerjakan karena Allah, sedangkan benar apabila sesuai dengan sunnah/tuntunan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunan/ajarannya dari kami pasti akan tertolak.” (HR. Muslim).
Berkaitan dengan kaidah ini, maka manusia bisa digolongkan menjadi empat macam :
Pertama; orang yang ikhlas dan mengikuti tuntunan
Kedua; orang yang tidak ikhlas dan juga tidak mengikuti tuntunan
Ketiga; orang yang ikhlas tetapi tidak sesuai tuntunan
Keempat; orang yang sesuai dengan tuntunan tetapi tidak ikhlas dalam beramal
Oleh sebab itu ikhlas dan mutaba’ah merupakan pondasi utama dalam meniti jalan yang lurus. Jalan yang telah ditempuh oleh para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Inilah jalan Allah yang wajib diikuti, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan sesungguhnya yang Kami perintahkan ini adalah Jalan-Ku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya.” (al-An’am : 153)
Kaidah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa kita harus ikhlas kepada Allah dalam hal ibadah, dalam ucapan, perbuatan, niat dan kehendak. Selain itu kita juga harus selalu mengikuti tuntunan dan jalan yang ditempuh oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal perilaku, manhaj dan ibadah. Inilah jalan Islam yang diserukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan jalan agama-agama yang menyimpang semacam Yahudi dan Nasrani.
Hal ini juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya agama ini ditegakkan dengan tuntunan dan syari’at bukan berdasarkan pendapat akal yang dibuat-buat oleh manusia. Setiap ajaran dalam agama ini yang tidak bersumber dari tuntunan Allah dan rasul-Nya maka itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. Di sisi lain, kita tidak boleh terpedaya oleh bentuk lahiriah amalan yang sesuai dengan tuntunan, sebab yang menjadi patokan pula adalah niat dalam beramal; apakah amal itu ikhlas karena Allah ataukah tidak. Sehingga amal yang bermanfaat adalah yang memenuhi dua syarat itu; yaitu ikhlas dan mengikuti tuntunan.
Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa setiap da’i -bahkan setiap muslim- harus berusaha untuk mempelajari agama Islam ini agar amal-amalnya sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain itu ia harus membersihkan hatinya dari hal-hal yang merusak keikhlasan dalam beramal. Wallahul muwaffiq.
Rujukan : al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi Tarbiyah wal Ishlah karya Syaikh Abdullah bin Shalih al-Ubailan hafizhahullah bersama tambahan keterangan dari Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah (hal. 1-18). Kopian kitab ini berasal dari Ustadz Abu ‘Ali hafizhahullah.
NB : Ustadz Abu ‘Ali telah berpesan kepada kami untuk menulis faidah dari kitab ini untuk dimuat di website dakwah sejak beberapa tahun yang lalu, dan baru sekarang hal ini bisa kami kerjakan -dengan taufik dari Allah semata- wa jazaahullahu khairan.