Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah…
Syukur dibangun di atas tiga perkara:
- Mengakui dari dalam hati bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari Allah
- Mengungkapkan pujian kepada-Nya atas nikmat tersebut dengan ucapan lisan
- Memanfaatkan nikmat-nikmat itu dalam rangka menggapai keridhaan Dzat yang telah melimpahkannya; yaitu Allah ta’ala (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 5-6)
Dengan ungkapan lain, bisa dikatakan bahwa syukur itu diwujudkan dengan tiga sarana, yaitu lisan, hati, dan anggota badan (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Rajhi hafizhahullah, hal. 6)
Para ulama menjelaskan, bahwa antara syukur dan pujian[al-hamdu] memiliki sedikit perbedaan. Syukur dilakukan sebagai tanggapan dan ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diberikan. Adapun pujian bisa saja muncul bukan karena nikmat atau pemberian namun karena kesempurnaan Dzat yang dipuji. Syukur diwujudkan melalui lisan dan perbuatan, sedangkan pujian hanya dalam bentuk ucapan lisan (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alusy Syaikh hafizhahullah, hal. 5)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Alhamdulillah adalah ucapan setiap orang yang bersyukur.” Abu Nashr al-Jauhari mengatakan, “Alhamdu/pujian adalah lawan dari celaan.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/29]).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma juga mengatakan, “Alhamdulillah adalah ucapan syukur. Apabila hamba mengucapkan alhamdulillah, Allah pun mengatakan, “Hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/30])
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Pujian itu ada dua macam: pujian atas kebaikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka itu adalah bagian daripada syukur. Lalu, pujian kepada-Nya atas sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 234, lihat juga Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 23-24)
Syukur lebih luas daripada sekedar mengucapkan alhamdulillah (pujian). Sebab syukur meliputi amalan hati, lisan, dan anggota badan. Namun, apabila dilihat dari sisi sebabnya pujian lebih luas daripada syukur. Karena Allah terpuji bukan hanya disebabkan nikmat yang dikaruniakan-Nya. Akan tetapi Dia juga terpuji karena kesempurnaan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (lihat al-Is’ad fi Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 14)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa pun nikmat yang ada pada kalian adalah datang dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)
Termasuk dalam bentuk nikmat -yang harus kita syukuri- adalah ketaatan yang telah kita lakukan. Ini semuanya adalah anugerah dan nikmat dari Allah. Bahkan, nikmat iman dan ketaatan ini adalah nikmat yang lebih agung daripada nikmat-nikmat keduniaan. Oleh sebab itu sudah semestinya kita senantiasa mensyukurinya (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 8)
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa yang tidak mengenali kenikmatan Allah terhadap dirinya selain urusan makanan dan minumannya, sungguh sedikit ilmunya dan telah datang adzab untuknya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 48).
Mensyukuri nikmat Allah -termasuk di dalamnya nikmat ketaatan- secara lisan adalah dengan menyandarkan nikmat-nikmat tersebut kepada Dzat yang telah memberikannya, memuji-Nya, dan tidak berpaling/menyandarkan nikmat itu kepada selain-Nya (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alusy Syaikh, hal. 5)
Adapun mensyukuri nikmat Allah dengan perbuatan, misalnya:
- Jika nikmat itu berupa harta, hendaklah mensedekahkan sebagian darinya, sebab dengan sedekah harta justru berkembang
- Jika nikmat itu berupa ilmu, hendaklah ilmu/kebaikan itu diajarkan kepada orang lain dalam rangka mencari pahala dan supaya orang lain bisa merasakan kebaikan sebagaimana yang telah dia rasakan, sebab tidaklah sempurna iman sampai kita mencintai kebaikan bagi saudara kita sebagaimana apa yang kita cintai untuk diri kita
- Jika nikmat itu berupa kesehatan maka hendaknya digunakan sebaik-baiknya dalam ketaatan dan mencari ridha Allah supaya tidak termasuk orang yang tertipu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang membuat banyak orang tertipu, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih al-Luhaidan hafizhahullah, hal. 3-4)
Kebanyakan orang apabila diberikan nikmat oleh Allah, maka mereka justru kufur/menutup-nutupi hal itu, mengingkari -tidak mengakui karunia Allah atasnya- dan malah menggunakan nikmat itu tidak dalam ketaatan kepada Allah. Oleh sebab itulah -akibat tidak bersyukur- mereka terjatuh dalam kebinasaan. Adapun orang yang bersyukur maka Allah tambahkan kepadanya nikmat-Nya (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hal. 5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kalian bersyukur maka pasti akan Aku tambahkan nikmat kepada kalian, akan tetapi jika kalian kufur/ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7).
Allah ta’ala berfirman pula (yang artinya), “Betapa sedikit hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13).
Muhammad bin Ka’ab rahimahullah menjelaskan maksud ayat (yang artinya), “Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Min Kitab az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65).
Muhammad bin al-Hasan rahimahullah menceritakan: as-Sari bertanya kepadaku, “Apakah puncak syukur itu?”. Aku menjawab, “Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.” Lalu dia mengatakan, “Jawabanmu tepat, wahai anak muda.” (lihat al-Fawa’id wa al-Akhbar wa al-Hikayat, hal. 144)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah pernah ditanya tentang makna zuhud di dunia, beliau menjawab, “Jika dia mendapatkan nikmat maka bersyukur dan jika dia mendapatkan cobaan musibah maka dia pun bersabar. Itulah zuhud.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/78])