Bismillah.
Diantara perkara mendasar yang sering dilupakan oleh manusia adalah pentingnya menemukan jalan yang benar dalam mencapai kebahagiaan. Mereka lupa bahwa jalan yang benar merupakan kunci perubahan dan gerbang kemenangan.
Oleh sebab itu apabila kita cermati doa yang setiap hari kita panjatkan adalah memohon petunjuk dari Allah untuk bisa meniti jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa hakikat jalan yang lurus itu adalah ma’rifatul haq wal ‘amal bihi; mengetahui kebenaran dan beramal dengannya.
Para ulama juga menjelaskan kepada kita bahwa untuk mencapai kejayaan dan kemuliaan harus dilandasi dengan ilmu. Hakikat ilmu yang dimaksud di sini adalah ma’rifatul huda bidalilihi; mengetahui petunjuk berdasarkan dalilnya. Ilmu yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah as-Sunnah (tuntunan yang benar dalam beragama).
Seperti yang diutarakan oleh Imam Malik rahimahullah, “as-Sunnah ini ibarat perahu Nabi Nuh. Barangsiapa menaikinya dia akan selamat. Dan barangsiapa yang tertinggal darinya tenggelam.” Sunnah yang dimaksud di sini meliputi Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah/ajaran para Sahabat radhiyallahu’anhum. Sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Irbadh bin Sariyah yang sangat terkenal itu.
Perlu kita pahami bahwa istilah sunnah tidak melulu bermakna ‘sesuatu yang dianjurkan’ sebagaimana yang banyak dikenal dalam pembahasan fikih. Akan tetapi sunnah mengandung beberapa penggunaan. Ada makna sunnah dalam ilmu hadits; yaitu ucapan, perbuatan, persetujuan dan sifat/perilaku dan keadaan fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah dalam makna ini sinonim dengan istilah hadits.
Ada lagi istilah sunnah yang disebutkan oleh para ulama aqidah dengan makna aqidah/keyakinan dan pokok-pokok agama yang dipegang teguh oleh generasi terdahulu umat ini. Oleh sebab itu banyak kitab aqidah yang ditulis dengan judul kitab as-Sunnah dan semacamnya. Seperti as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, atau as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, atau Syarhus Sunnah karya al-Barbahari.
Adapun dalam ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pembicaran salaf maka istilah sunnah biasa mengacu pada ajaran Islam yang murni dan jalan beragama generasi terbaik umat ini. Oleh sebab itu dalam wasiatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar berpegang-teguh dengan Sunnah beliau dan Sunnah para khalifah rasyid setelahnya pada saat muncul perpecahan di tengah umat ini.
Mengikuti jalan pemahaman para Sahabat adalah sebuah keniscayaan. Hal ini sering diingatkan oleh para ulama kita. Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”
Mengikuti jalan mereka bukan berarti dengan mengganti kendaraan kita dengan onta atau kuda, tetapi yang dimaksud adalah mengikuti bagaimana mereka beraqidah, beribadah dan berakhlak. Inilah yang dinasihatkan oleh para ulama terdahulu umat ini. Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib bagimu untuk mengikuti jalan orang-orang salaf/para Sahabat nabi, walaupun orang-orang menolakmu. Dan waspadalah dari pendapat-pendapat akal manusia/tokoh-tokoh menyimpang, walaupun mereka menghiasinya dengan ucapan yang indah.”
Inilah yang saat ini dikenal dengan istilah manhaj salaf; yaitu cara beragama para Sahabat ridhwanullahi ‘alaihi ajma’in. Jadi bukanlah ia seruan terhadap suatu organisasi tertentu, kelompok tertentu atau tokoh-tokoh tertentu. Ini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Orang-orang yang disebut oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu sebagai ‘orang-orang yang paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, dna paling sedikit membeban-bebani diri/tidak berlebihan’.
Kita tidak mengatakan bahwa individu para Sahabat itu maksum/terjaga dari kesalahan. Akan tetapi kesepakatan/ijma’ mereka adalah terjaga dari penyimpangan. Hal itu sebagaimana telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umatnya tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits iftiraqul ummah menyebutkan bahwa orang-orang yang selamat adalah yang berada di atas jalan beliau dan para sahabatnya ‘maa ana ‘alaihi wa ash-haabii‘.
Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi kita. Wallahu a’lam.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com