Bismillah.
Istilah tajdid dalam bahasa Arab berarti ‘pembaharuan’. Diantara bentuk tajdid yang paling dibutuhkan di masa kita sekarang ini adalah tajdid iman; pembaharuan kualitas iman. Oleh sebab itu Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah memiliki ceramah dan tulisan khusus yang mengupas seputar Tajdid al-Iman.
Hal ini dilandaskan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إنَّ الإيمانَ لَيَخْلَقُ في جَوْفِ أحدِكُمْ كَما يَخلَقُ الثّوبُ ، فاسْألُوا اللهَ تعالَى : أنْ يُجَدِّدَ الإيمانَ في قُلوبِكمْ
“Sesungguhnya iman benar-benar bisa luntur/usang dalam diri kalian sebagaimana halnya pakaian menjadi usang. Oleh sebab itu mintalah kepada Allah agar terus memperbaharui iman dalam hati kalian.” (HR. ath-Thabarani dll, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mencontohkan kepada kita setiap hari berdoa kepada Allah meminta ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik, dan amal yang diterima. Beliau juga setiap hari -bahkan setiap kali sholat dalam setiap rakaat- meminta hidayah kepada Allah. Bahkan diantara doa yang paling banyak beliau panjatkan adalah permohonan agar Allah meneguhkan hatinya di atas agama Islam ini…
Derasnya fitnah dan kerusakan yang bertebaran di era teknologi informasi seperti sekarang ini menuntut kita semua untuk lebih waspada dan lebih ketat dalam menjaga kondisi iman. Sebagaimana telah diterangkan para ulama Ahlus Sunnah bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang akibat maksiat. Tidak sebagaimana yang diyakini oleh Murji’ah bahwa iman tidak berkurang karena maksiat, bahkan menurut mereka amal bukan bagian dari iman; sehingga iman ahli maksiat sama dengan imannya Jibril… Subhanallah!
Diantara perkara paling kuat untuk bisa menjaga iman adalah menimba ilmu syar’i dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan/cara dalam rangka mencari ilmu (agama) niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan setiap hembusan nafas.” (disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa’adah)
Diantara cara paling efektif untuk mencari ilmu adalah dengan tadabbur/merenungkan ayat-ayat al-Qur’an. Merenungkan al-Qur’an adalah sarana untuk mengikuti petunjuk Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
Renungkanlah al-Qur’an, jika kamu menghendaki petunjuk
Sesungguhnya ilmu ada di balik tadabbur al-Qur’an...
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa mempelajari al-Qur’an itu tidak terbatas pada cara membacanya, bahkan ia juga mencakup tafsir dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya; bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Oleh sebab itu semangat untuk belajar membaca dan menghafalkan al-Qur’an juga harus diikuti dengan semangat untuk memahami ajaran yang tersimpan di dalamnya.
Apabila semangat belajar Qur’an tidak membuahkan iman dan semangat untuk beramal salih maka justru ia akan menjadi bencana dan malapetaka bagi pembawanya. Tidak ubahnya seekor keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal, dan seperti keadaan ahli kitab yang hanya membaca kitabnya tapi tidak melaksanakan isinya…
Lihatlah para sahabat Nabi, generasi terbaik umat ini yang telah ditarbiyah dengan al-Qur’an oleh sebaik-baik guru dan teladan. Mereka menjadi manusia yang bertakwa dan berjuang demi tegaknya agama ini dengan jiwa dan raganya. Seorang ulama tabi’in bernama Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mika’il.” Atsar ini disebutkan Imam Bukhari dalam Kitabul Iman dalam Shahih-nya.
Karena itulah para ulama kita berkata; barangsiapa semakin mengenal Allah maka akan semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Setiap orang yang benar-benar takut kepada Allah -dengan disertai harapan dan pengagungan- maka dia lah orang yang memiliki ilmu yang sejati. Ilmu yang menyuburkan dzikir dan syukur dalam diri seorang hamba.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Bagaimana kiranya keadaan seekor ikan apabila ia terpisah dari air?”. Ucapan ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib. Ilmu dan dzikir adalah sebab hidupnya hati. Karena itulah kita ‘saksikan’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa mengingat Allah dalam segala keadaan.
Dengan demikian wajib bagi kaum muslimin untuk terus menimba ilmu -dengan penuh keikhlasan- dan menghiasi lisan mereka dengan dzikir kepada Allah. Sementara bentuk dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan dengan lisan dengan apa-apa yang ada di dalam hati; dan hal itu tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan terus menuntut ilmu dan merenungkan ayat-ayat Allah.
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com
Tulisan ini terinspirasi dari ceramah Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berjudul ‘Tajdid al-Iman’ yang diadakan di Uni Emirat Arab pada bulan Ramadhan 1437 H (sumber : Website resmi beliau)