Bismillah.
Diantara perkara mendasar yang selalu ditekankan oleh para ulama kepada kita bahwa kita wajib mengenal Allah; sebab Dia lah Dzat yang kita sembah.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Beribadah kepada Allah yaitu mentauhidkan-Nya.
Oleh sebab itu salah satu pertanyaan di alam kubur adalah ‘Siapa Rabbmu?’. Orang yang beriman dengan benar maka akan bisa menjawab dengan mantap tanpa keraguan. Allah berfirman (yang artinya), “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan di akhirat…” (Ibrahim : 27)
Mengenal Allah merupakan pokok dari segala bidang ilmu. Inilah kenikmatan tertinggi di dunia yang tidak bisa dirasakan oleh banyak pemuja dunia. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia dalam keadaan tidak merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah itu yang terbaik/terlezat di dunia?” beliau menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.”
Tidak akan bisa merasakan manisnya iman orang yang tidak mengenal Rabbnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Pengenalan terhadap Allah tentu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan tanpa pengagungan dan keyakinan. Akan tetapi pengenalan yang disertai dengan keimanan yang kuat dan membuahkan rasa takut kepada-Nya. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu adalah khasy-yah/rasa takut kepada Allah.”
Para ulama kita juga mengatakan bahwa kemuliaan suatu ilmu ditentukan oleh kemuliaan perkara yang diilmui atau dipelajari, maka ilmu tentang Allah merupakan ilmu yang paling mulia. Semakin seorang hamba mengenal Allah maka semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Ilmu inilah yang membuahkan iman dan amal salih.
Imam Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Sahih-nya bahwa ilmu sebelum ucapan dan amalan. Sementara keimanan dalam keyakinan Ahlus Sunnah mencakup ucapan dan amalan. Ilmu tentang Allah mencakup pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Pemahaman tentang ilmu ini termasuk fikih dalam agama yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menyusun sebuah buku yang sangat istimewa berjudul Fiqih Asma’ul Husna. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pada masa-masa sekarang ini kita sangat membutuhkan ilmu tentang Allah, keyakinan yang kuat terhadap kesempurnaan nama dan sifat Allah. Sebagaimana yang telah diutarakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya niscaya akan mencintai-Nya (dengan benar)…”
Sementara kecintaan kepada Allah itu sendiri adalah ruh dan motor penggerak amal salih. Ibadah kepada Allah tidak akan bisa tegak tanpa puncak kecintaan dan puncak perendahan diri kepada-Nya. Kecintaan merupakan pondasi ketaatan. Sebagaimana dikatakan orang Arab, “Orang yang cinta tentu akan taat kepada siapa yang dicintainya.” Salah satu sebab utama rendahnya ketaatan adalah karena minimnya kecintaan… Wallahul musta’aan.
Kecintaan kepada Allah akan bisa menguat seiring dengan keyakinan dan kesadaran hamba akan sekian banyak nikmat Allah yang tercurah kepada dirinya. Inilah yang disebut dengan sikap musyahadatul minnah; mengakui dan menyadari curahan nikmat dari Allah. Sebuah prinsip ibadah yang terlukis dalam kalimat sayyidul istighfar ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya; aku mengakui kepada-Mu atas segala nikmat-Mu kepada diriku…
Akan tetapi hal itu tidak cukup. Sebab kita pun wajib mengakui akan segala dosa dan kekurangan kita dalam menghamba kepada Allah. Sebagaimana yang terwakili dalam kalimat ‘wa abuu’u bi dzanbii faghfirlii’ “Dan aku pun mengakui atas segala dosaku, maka ampunilah aku…” Inilah yang dikenal dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; menelaan segala aib pada diri dan amal perbuatan kita. Ini pun termasuk pilar ibadah yang harus terwujud dalam diri kita, sebab tanpanya maka akan merebak kesombongan, arogansi dan keangkuhan…
Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk mengenal Allah dengan sebenarnya dan mengampuni dosa-dosa kita. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 27 Jumadal Ula 1446 H / 29 November 2024
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com