Bismillah…
Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah curahkan kepada kita. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Suatu hal yang telah diketahui oleh kita bahwa tujuan hidup di alam dunia adalah untuk mewujudkan penghambaan kepada Allah semata. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Ibadah kepada Allah bukan semata-mata gerakan fisik ataupun ucapan lisan, bahkan ia juga mencakup amalan-amalan hati berupa kecintaan, harapan dan rasa takut. Para ulama pun telah menjelaskan betapa pentingnya amalan hati dalam menentukan diterima atau tidaknya amalan lahiriah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu akan dinilai dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Para ulama menjelaskan bahwa niat tempatnya adalah di dalam hati. Syarat diterimanya suatu amal selain harus sesuai dengan tuntunan/sunnah nabi maka ia juga harus dilandasi dengan niat yang ikhlas.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Amal sebesar apapun jika dilakukan karena ingin mengharapkan pujian atau sanjungan maka tidak akan diterima oleh Allah.
Dalam hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan seraya mempersekutukan Aku dengan selain Aku niscaya Aku tinggalkan dia dan syiriknya.” (HR. Muslim)
Hal ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keikhlasan. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa amal-amal itu berbeda tingkatan keutamaan dan pahalanya sesuai dengan apa-apa yang terdapat di dalam hati pelakunya berupa keimanan dan keikhlasan. Abdullah ibnu Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal besar menjadi kecil juga gara-gara niatnya.”
Membersihkan hati dari segala hal yang merusak tauhid dan keikhlasan merupakan kunci kebahagiaan. Karena di akhirat yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah hati yang bersih dari syirik dan kemunafikan. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’ara’ : 88-89)
Orang-orang munafik walaupun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat maka mereka di akhirat ditetapkan hukuman kekal di lapisan paling dasar dari api neraka, tidak lain karena kotornya hati mereka dengan kedustaan dan kemunafikan. Di dalam al-Qur’an Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah pendusta. Mereka mengaku dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir padahal sejatinya mereka bukan termasuk golongan kaum beriman…
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu semata-mata dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.” Beliau juga mengatakan, “Seorang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik dan merasa khawatir, sedangkan orang munafik atau fajir memadukan dalam dirinya perbuatan buruk dan merasa aman/tidak bermasalah.”
Sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Tidaklah aku berjuang menundukkan diriku dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk menuju ikhlas.” Sebagian mereka juga mengatakan, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku; karena ia selalu berbolak-balik.”
Memelihara amalan hati termasuk sebab utama untuk istiqomah dalam beragama. Tidakkah kita melihat ketegaran sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu; para ulama mengatakan, “Tidaklah Abu Bakar mengalahkan para sahabat yang lain dengan banyaknya sholat atau puasa, tetapi dengan sesuatu yang ada di dalam hatinya; yaitu keikhlasan dan nasihat bagi segenap manusia.”
Bahkan dengan menjaga amalan hati akan mengangkat derajat pemiliknya ke dalam jajaran teladan dan panutan umat. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Dengan bekal sabar dan keyakinan niscaya akan diraih derajat kepeimpinan/teladan dalam agama.”
Dengan sebab amalan hati pula seorang naik kepada tingkatan ahli lmu, sebagaimana ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah yang membuahkan rasa takut kepada Allah.”
Semoga Allah limpahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat… aamiin
Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com