Kedudukan Sabar

Fatwa oleh : Syaikh Muhammad bin Abdullah as-Subayyil rahimahullah (imam dan khotib Masjidil Haram dan anggota dewan ulama besar Saudi Arabia, wafat 1434 H)

Beliau mendapat pertanyaan :

Seperti apakah kedudukan sabar? dan balasan apa yang akan diperoleh bagi orang-orang yang sabar?

Beliau menjawab :

Sabar memiliki kedudukan yang sangat agung di sisi Allah ta’ala. Tidak akan sempurna iman seorang hamba kecuali dengan sabar. Sabar merupakan salah satu amalan yang paling utama. Balasan atasnya di sisi Allah tidak terbatas oleh hitungan tertentu. Apabila suatu amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya menjadi 10 x lipat sampai 700 kali lipat atau lebih, maka balasan bagi kesabaran itu tidak terhitung/tidak terbatas.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya akan disempurnakan pahala bagi orang-orang yang sabar itu tanpa hisab/perhitungan.” (az-Zumar : 10)

Sabar itu terdiri dari tiga bagian;

Bagian pertama sabar dalam melakukan ketaatan. Seorang muslim tertuntut untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah jalla wa ‘ala. Termasuk bagian terpenting darinya adalah sabar dalam menunaikan berbagai kewajiban. Kemudian yang paling depan diantara itu adalah sholat. Wajib menunaikan sholat pada waktunya, memenuhi syarat, rukun dan wajib-wajibnya.

Untuk memelihara sholat tentu menuntut kesabaran di dalamnya. Orang yang tidur lalu ketika mendengar panggilan adzan lantas berusaha menundukkan jiwanya untuk bangun, berwudhu dan berangkat menuju masjid; maka ini merupakan salah satu bentuk kesabaran dalam ketaatan.

Termasuk sabar dalam ketaatan adalah bersabar dalam berbakti kepada kedua orang tua, bergaul dengan mereka dengan baik, dan sabar/tabah dalam menghadapi berbagai hal yang muncul dari mereka. Allah ta’ala berfirman :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ، رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمْ إِنْ تَكُونُوا صَالِحِينَ فَإِنَّهُ كَانَ لِلْأَوَّابِينَ غَفُورًا 

Rabbmu memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik; bisa jadi salah satu atau kedua-duanya diantara mereka itu menjumpai usia tua renta bersamamu maka janganlah kamu katakan kepada mereka; Cis! Dan jangan kamu hardik mereka berdua, dan ucapkanlah kepada mereka kalimat yang mulia, dan rendahkanlah untuk mereka berdua sayap ketundukan/kerendahan hati dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah doa ‘Wahai Rabbku sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka telah menyayangiku ketika kecil”. Rabb kalian yang lebih mengetahui apa-apa yang ada di dalam diri kalian; jika kalian benar-benar salih maka sesungguhnya Allah Mahapengampun kepada orang-orang yang selalu kembali/bertaubat.” (al-Israa’ : 23-25)

Termasuk sabar dalam ketaatan ini juga adalah sabar dalam mendidik anak, sabar dalam mendidik keluarga/warga yang menetap di rumahnya, dsb.

Bagian kedua; sabar menjauhi maksiat. Yaitu dia bersabar dan menjaga dirinya dari perbuatan maksiat. Mencegah diri dari selalu memperturutkan keinginan hawa nafsu, ambisi pribadi, atau mengekor syahwat. Termasuk bentuk maksiat yang harus bersabar dalam menjauhinya adalah membicarakan kehormatan/harga diri orang lain (sabar untuk tidak ghibah, pent).

Bagian ketiga; sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan. Karena sesungguhnya musibah apapun yang menimpa seorang hamba seperti ditinggal mati oleh anaknya, penyakit yang dia derita, atau penyakit yang menimpa akalnya, badannya yang sakit, atau karib kerabatnya yang sakit, maka wajib bagi seorang muslim untuk bersabar menghadapi perkara-perkara ini. Dia pun harus mengharap pahala darinya, dan wajib dia yakini bahwa musibah yang menimpa dirinya tidak akan meleset darinya dan apa yang meleset juga tidak akan menimpanya, dia yakini bahwa ini semuanya datang dari sisi Allah.

Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidaklah menimpa satu pun musibah kecuali dengan izin dari Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (at-Taghabun : 11)

Alqomah rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah seorang yang terkena musibah yang mana dia sadar bahwa hal itu datang dari sisi Allah, sehingga dia pun ridha dan taslim/pasrah. Dia pun mengatakan bahwa ini adalah ketetapan Allah, kita beriman kepada Allah. Kita ridha dengan qadha/ketetapan dari Allah. Maka hal ini akan Allah berikan limpahan keimanan dan ketenangan di dalam hatinya dan dia akan mendapatkan curahan pahala yang sangat besar…

Kita memohon kepada Allah semoga Allah menjadikan kita termasuk dari golongan orang-orang yang sabar. Wallahu a’lam.

Sumber : https://alsubail.af.org.sa/ar/node/1450

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *