Memetik Hikmah Terpaan Wabah

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hari demi hari, bulan demi bulan kita lalui bersama wabah covid-19. Berbagai upaya telah dilakukan para ahli, pemerintah dan segenap tenaga kesehatan untuk bisa mencegah dan meminimalisir penularan wabah ini. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kesehatan dan keselamatan jiwa merupakan nikmat yang sangat mahal harganya.

Hal ini tentu mengingatkan kita akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua nikmat yang kebanyakan orang merugi pada keduanya; yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari). Nikmat sehat dan selamat sungguh besar peranannya dalam menjaga stabilitas kehidupan masyarakat dunia. Ketika nikmat sehat itu dicabut maka manusia akan merasakan kesusahan dan kesulitan yang pada akhirnya akan bisa berujung pada kematian. Nah, Islam mengajarkan kepada kita untuk bisa mensyukuri nikmat sebelum nikmat itu hilang; diantaranya adalah nikmat sehat sebelum datangnya sakit, dan nikmat hidup sebelum datangnya kematian.

Mengapa syukur itu penting? Sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa syukur merupakan penjaga nikmat dan penarik nikmat. Ia menjaga nikmat yang ada agar tidak lenyap, dan ia menarik nikmat yang lain untuk datang dan melekat. Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah mengatakan bahwa nikmat apabila disyukuri akan lestari/menetap, sedangkan apabila dikufuri maka ia akan lenyap/hilang. Orang yang sudah mengalami sakit tentu akan sadar dan ingat betapa mahal dan berharganya nikmat sehat yang selama ini dia peroleh.

Akan tetapi suatu kenyataan yang sering kita jumpai, bahwa manusia adalah banyak yang tidak pandai bersyukur. Ketika mereka diberikan nikmat dan kemuliaan maka mereka pun menyandarkan hal itu kepada kemampuan dan kehebatan dirinya. Inilah penyakit yang dialami oleh Qarun dengan segala kemewahan dan kekayaannya. Dia lupa bahwa itu semua adalah nikmat dari Allah yang wajib disyukuri. Demikianlah tabiat banyak orang; tertipu oleh kemewahan dan kemampuan dirinya sendiri. Inilah sebab utama orang menjadi celaka; ketika dia lebih bersandar kepada dirinya dan tidak menyandarkan diri kepada Allah dan kekuasaan-Nya.

Cobalah kita ingat; apakah sebenarnya yang membuat sosok Fir’aun, Namrud, Qarun, beserta Abu Jahal dan Abu Lahab menjumpai keadaan yang begitu buruk di akhir hidupnya? Apakah mereka termasuk orang yang menghamba kepada Allah dengan penuh ketundukan; ataukah mereka orang-orang yang tampil dengan penuh keangkuhan dan kelaliman… Inilah perkara yang banyak dilupakan manusia; bahwa hakikat kebahagiaan dan keselamatan hakiki itu ada pada bersandar kepada Allah dan menghamba dengan tulus kepada-Nya…

Tidakkah kita ingat sebuah ayat yang selalu dibaca oleh kaum muslimin dalam sholatnya ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin’ yang artinya; Hanya kepada-Mu Ya Allah kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan…

Pada saat berlimpah nikmat manusia sering melupakan Allah. Mereka hanyut dalam kesenangan duniawi dan melalaikan ajaran agama. Mereka anggap bahwa mengikuti aturan agama akan mengekang kebebasan manusia dan membuat hidup mereka tidak bahagia. Karena itulah banyak orang menentang diterapkannya hukum-hukum Allah dalam segala bidang. Dalam hal keyakinan; banyak orang lebih gandrung kepada syirik dan kekafiran daripada kembali kepada Islam dan tauhid. Dalam hal ibadah; banyak orang yang lebih cinta kepada tradisi nenek moyang dan alergi apabila diajak untuk kembali kepada kemurnian ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadilah Islam itu menjadi terasing.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam datang dalam keadaan terasing dan akan kembali menjadi terasing seperti datangnya. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim). Apabila para ulama mengajak umat kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah maka orang-orang akan menuduh bahwa para ulama tidak memahami waqi’/realita dan tidak bisa memahami semangat perubahan jaman. Bahkan mereka menuduh apabila hukum-hukum Islam diterapkan niscaya akan terjadi malapetaka bagi umat manusia, subhanallah! Apabila yang mengucapkan itu adalah orang kafir maka wajar; tetapi amat disayangkan bahwa ternyata yang mengucapkan adalah orang-orang yang ditokohkan dan dianggap sebagai cendekiawan muslim!

Ketika Allah menurunkan musibah dan bencana kepada manusia tentu hal itu terjadi dengan hikmah dan kehendak-Nya. Tidak mungkin Allah menganiaya hamba-Nya. Oleh sebab itu para ulama selalu mengingatkan kita bahwa adanya musibah dan bencana yang melanda timbul karena tumpukan dosa-dosa manusia, dan ia akan bisa terangkat dengan taubat yang tulus dari mereka. Tidakkah kita ingat mengapa Allah melaknat Bani Isra’il; ternyata sebabnya adalah mereka tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah kemaksiatan. Begitu juga menyembunyikan ilmu agama termasuk dosa besar. Lantas bagaimana lagi kemurkaan Allah apabila dosa besar yang merebak adalah syirik kepada-Nya?!

Kita tentu tidak bisa menyamakan keadaan kita dengan keadaan para sahabat; para manusia terbaik di muka bumi setelah para nabi. Apabila Allah berikan cobaan kepada mereka berupa musibah dan wabah maka tentu hal itu menunjukkan kekuatan iman mereka dan ketinggian derajat mereka di sisi Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah timpakan kepadanya musibah.” (HR. Bukhari). Para sahabat adalah kaum beriman yang telah dijadikan sebagai teladan. Oleh sebab itu Allah memuji mereka di dalam al-Qur’an dan menyatakan bahwa mengikuti mereka merupakan sebab mendapatkan petunjuk. Mereka orang yang hidup dengan kesabaran. Sabar dan keyakinan itulah yang mengangkat mereka sebagai sosok para pemimpin dunia.

Adapun kita, maka patutlah kita mengingat ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Barangsiapa yang terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri maka dia adalah orang yang paling bodoh tentang hakikat dirinya/hawa nafsunya sendiri.” Tidakkah kita lihat bagaimana keteladanan generasi salaf dalam menilai diri mereka. Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata, “Tidaklah aku membandingkan antara ucapanku dengan amalku melainkan aku khawatir akan termasuk orang yang mendustakan.” Sebagian ulama salaf pun berkata, “Seandainya dosa-dosa itu memiliki bau busuk; niscaya tidak akan ada orang yang mau duduk bersamaku.”

Ketahuilah saudaraku, tidaklah musibah dan malapetaka itu datang kecuali karena rusaknya penghambaan kita kepada Allah. Yang kita bicarakan bukanlah rusaknya masjid secara fisik atau rusaknya bangunan gedung sekolah islam. Yang kita maksud adalah rusaknya aqidah dan keimanan kaum muslimin.

Tidakkah kita ingat pelajaran yang Allah berikan kepada pasukan para sahabat di masa itu ketika muncul ujub pada sebagian orang tetapi jumlah pasukan yang banyak itu tidak bermanfaat di hadapan takdir Allah. Begitu pula ketika pasukan muslimin terpukul dan mengalami kekalahan mereka pun bertanya ‘dari mana kekalahan ini datang’ maka Allah pun memberikan jawaban tegas bahwa ‘hal itu datang dari diri-diri kalian sendiri…’

Sadar ataupun tidak banyak diantara umat Islam sendiri yang telah menjelma menjadi budak harta dan budak jabatan. Mereka tidak lagi peduli halal dan haram. Apa pun dilakukan yang penting mendapatkan penghasilan besar dan kedudukan tinggi serta kemewahan. Mereka lupa bahwa dunia ini hanya sementara dan ada hari akhirat dan pembalasan atas amal para hamba. Nasihat dari para ulama pun tidak dipedulikan. Yang mereka ambil adalah fatwa dan pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan mereka belaka. Bahkan orang pun rela menjual agama demi meraih ambisi-ambisi dunia yang hina. Apakah hanya untuk mendapatkan gelar doktor kemudian seorang mahasiswa pascasarjana bisa dengan seenaknya menghalalkan zina?!       

Kita sering mendengar ayat Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidaklah merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’d : 11). Sesungguhnya perubahan keadaan masyarakat yang sebelumnya aman dan melimpah kesehatan lalu berubah menjadi menakutkan dan diliputi dengan wabah dan penyakit; sedikit banyak timbul akibat dosa dan kesalahan umat manusia itu sendiri.

Perlu kita camkan; bahwa wabah ini bukan semata-mata fenomena alam atau penyakit yang timbul karena virus. Akan tetapi kita sebagai muslim meyakini bahwa bencana merupakan bagian dari peringatan Allah untuk hamba-hamba-Nya agar mereka kembali tunduk dan menghamba kepada Allah dengan sebenar-benarnya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *