Ramadhan, Musibah, dan Kepekaan Sosial

Bismillah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, hari-hari ini kita masih menyaksikan perjuangan keras umat manusia dalam menghadapi wabah virus Corona. Kita pun mengapresiasi perjuangan dan pengorbanan para relawan dan tim medis yang berada di garda terdepan untuk mengatasi keadaan. Tentu saja dengan bimbingan dan arahan pemerintah dan para ulama.

Musibah ini setidaknya mengingatkan kita akan besarnya nilai kesehatan; salah satu nikmat yang sering disia-siakan oleh manusia dan disalahgunakan dalam hal-hal yang merusak dirinya. Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan orang merugi akibat tidak memanfaatkan keduanya; kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Musibah ini pula menyadarkan betapa berharganya nikmat keamanan dari penyakit dan bencana. Keamanan bukan saja dari serangan musuh dan perampokan atau penjarahan. Akan tetapi juga keamanan dari ancaman wabah dan penyakit ganas yang mematikan. Oleh sebab itu nikmat keamanan ini pula yang diingatkan oleh Allah kepada para penduduk Mekkah dan suku Quraisy secara khusus. Allah perintahkan mereka -dan juga seluruh manusia- untuk beribadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya; yang mana Allah Rabb pemilik Ka’bah yang telah memberikan makanan kepada mereka dan memberikan keamanan dari cekaman rasa takut.

Musibah ini pun kembali mengingatkan kita tentang pentingnya arti kepedulian kepada sesama. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia pada umumnya. Kita diajari untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan juga masyarakat. Diantara dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang muslim adalah yang membuat kaum muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini memiliki arti yang sangat besar terlebih lagi di masa kita sekarang ini ketika gejolak media sosial telah menembus batas-batas etika serta mendobrak adab dan tata-krama. Banyak orang berbicara di luar kapasitasnya. Banyak orang berkomentar semata-mata untuk melepaskan apa-apa yang ada di dalam otaknya. Manusia kurang perhatian dengan dampak dari lisan dan perilakunya.

Di bulan Ramadhan ini kita mendapatkan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi pribadi yang terkendali. Karena puasa itu melatih kesabaran. Seorang yang berpuasa harus menjaga diri dari hal-hal yang merusak puasanya. Bahkan dia dihasung untuk menyempurnakan puasa dengan ibadah dan amal-amal lainnya yang semakin meninggikan derajatnya di hadapan Allah. Sabar ibarat cahaya. Sedekah menjadi bukti nyata keimanan seorang hamba. Kita dituntut peduli dengan fakir miskin dan kaum papa. Di akhir Ramadhan kita juga diperintahkan untuk membayarkan zakat fitri dan membagikannya kepada yang berhak menerima.

Saudaraku yang dirahmati Allah, sudah menjadi keniscayaan bagi setiap kita untuk ikut serta meringankan musibah yang menimpa umat manusia. Bukankah Allah turunkan al-Qur’an dan mengutus Rasul-Nya juga untuk mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Bukankah Allah menghendaki kemudahan dan keringanan bagi hamba-hamba-Nya. Allah tidak menurunkan al-Qur’an supaya manusia celaka, tetapi dalam rangka membimbing mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam Islam, ada tiga jenis kesabaran yang harus kita laksanakan; sabar dalam melakukan perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Puasa adalah salah satu bentuk kesabaran dalam menjalankan perintah Allah. Bersedekah pun menuntut kesabaran dalam melakukan perintah-Nya. Keutamaan besar pun telah dijanjikan oleh Allah bagi hamba-hamba yang berpuasa dan yang rajin bersedekah dengan hartanya. Allah janjikan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.    

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal ini memberikan faidah kepada kita bahwa kesabaran itu memberikan buah yang sangat agung dan mulia. Oleh sebab itu saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran adalah kunci kebahagiaan manusia.

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3). Pada saat-saat musibah wabah ini melanda dunia dan umat Islam maka kita dituntut untuk sabar. Karena musibah ini adalah takdir Allah. Wabah ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ia terjadi dengan takdir Allah. Allah lah yang menurunkan wabah ini kepada manusia sebagai bentuk ujian sekaligus hukuman atas dosa-dosa.

Dengan adanya musibah ini diharapkan manusia kembali kepada Allah dan bertaubat dari dosa. Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, “Tidaklah turun musibah bencana kecuali disebabkan dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan jalan taubat.” Hal ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa kerusakan yang terjadi di atas muka bumi ini banyak timbul sebagai akibat dari ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Maka para ulama senantiasa menasihatkan kepada kita untuk banyak bertaubat dan berdoa pada masa-masa semacam ini. Karena kita menyadari bahwa kita ini penuh dengan dosa dan kesalahan. Berbuat dosa di waktu malam ataupun siang, sementara Allah mengampuni segala bentuk dosa. Allah bentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat para pelaku dosa. Allah pun melarang kita berputus asa dari rahmat-Nya…

Dalam situasi terpaan wabah ini meluas ke berbagai penjuru maka setiap muslim semestinya terus bersandar kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Karena tidak ada yang bisa menyingkap musibah ini selain Allah. Selain itu, kita juga harus menempuh sebab-sebab medis dan fisik yang dapat menjauhkan atau melindungi kita dari marabahaya. Kita pun hendaknya mendoakan para pemerintah kaum muslimin agar diberi taufik untuk menjalankan tugasnya. Kita terus berupaya mengikuti arahan pemerintah dalam menanggulangi bencana. Kepekaan sosial yang tumbuh diharapkan bisa membangun kekuatan bersama dalam meringankan musibah yang menimpa.

Sesuatu yang berat jika dihadapi bersama akan bisa terasa ringan. Itulah salah satu hikmah ibadah puasa yang diwajibkan oleh Allah kepada kita dan umat-umat sebelum kita. Maka demikian pula bencana ini akan terasa lebih ringan jika kita bersatu-padu dalam menghadapinya. Maka sangat tidak bijak jika ada pihak-pihak yang berupaya merusak usaha tulus ini dengan dalih ingin membela ajaran Islam, padahal Islam berlepas diri dari sikap dan perilakunya. Islam tidak membenarkan tindakan-tindakan yang mendatangkan bahaya bagi manusia. Bahkan Islam pun menolak tindakan bunuh diri, karena Allah begitu penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Tidaklah terjadi kerusakan di tengah manusia kecuali karena salah satu dari dua sebab; mengedepankan akal dan pendapat manusia di atas bimbingan wahyu, atau karena mendahulukan hawa nafsu di atas akal sehat. Faktor pertama melahirkan fitnah syubhat, sedangkan faktor kedua mengobarkan fitnah syahwat. Maka tidaklah heran jika ada orang-orang yang ‘berbaju agama’ tetapi justru merusak manusia akibat beramal tanpa ilmu. Manusia meninggalkan bimbingan para ulama dan mengikuti fatwa-fatwa tanpa ilmu dari para juhala.

Dari sinilah kita bisa mengetahui letak keadilan ucapan para ulama salaf, bahwa Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang paling mengenali kebenaran dan paling merahmati manusia. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang gamblang dan terang. Jalan yang tegak di atas ilmu dan keyakinan. Ilmu yang dibangun di atas nilai-nilai kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi maka dia tidak disayangi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa yang kita jalani butuh kepada keikhlasan dan kesabaran. Sedekah yang dilakukan pun butuh pada keikhlasan. Bantuan yang kita berikan pun butuh pada keimanan. Karena Allah tidak menerima amal yang tidak dilandasi keikhlasan dan keimanan. Dan tidak ada iman pada diri orang yang tidak memiliki kesabaran. Inilah saat dimana iman kita diuji, kesabaran kita diasah, dan keikhlasan kita ditempa. Agar kita lebih bermanfaat bagi diri dan sesama. Wallahul musta’aan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *