Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sudah menjadi kewajiban setiap rasul untuk mengajak manusia ke jalan Allah dan mengajarkan kepada mereka cara yang benar dalam beribadah kepada Allah. Setiap rasul telah diutus oleh Allah sejak rasul pertama hingga terakhir untuk menegakkan tauhid.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’.” (an-Nahl : 36). Hal ini sekaligus memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa tauhid merupakan asas perbaikan bagi setiap pribadi dan masyarakat, sebagaimana faidah yang disampaikan oleh Ustaz Afifi hafizhahullah dalam kajian bertajuk ‘Tauhid Prioritas Pertama dan Paling Utama’.
Secara lebih khusus lagi Allah memerintahkan nabi-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memproklamirkan dakwah tauhid ini di tengah umat manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108)
Ayat tersebut -sebagaimana dijelaskan para ulama- memberikan makna bahwa dakwah nabi adalah dakwah tauhid dan tegak di atas ilmu, begitu pula menjadi tugas para pengikut beliau untuk berdakwah tauhid di atas ilmu.
Mengaku menjadi pengikut atau pecinta rasul itu mudah. Akan tetapi yang menjadi ukuran adalah sejauh mana orang merealisasikan pengakuannya itu dalam kancah kehidupan. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)
Menjadi pengikut rasul itu harus dilandasi dengan ilmu. Karena agama ini tegak berdasarkan ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu apabila terjadi perbedaan pendapat harus dikembalikan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul…” (an-Nisa’ : 59). Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ‘kembali kepada Allah’ artinya kepada al-Qur’an, sedangkan ‘kembali kepada rasul’ setelah wafatnya adalah kembali kepada as-Sunnah atau al-Hadits.
Tidak mau menjadi pengikut rasul adalah sumber kebinasaan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia justru mengikuti selain jalan kaum beriman, niscaya Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan masukkan dia ke dalam Jahannam; dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’ : 115)
Membangkang kepada hukum dan ajaran Rasul sama dengan membangkang kepada Allah. Sebab Rasul tidaklah menetapkan suatu urusan dalam agama ini dari hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah ia/rasul itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain apa yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi lelaki beriman dan perempuan beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)
Oleh sebab itu para ulama kita sangat mengagungkan hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya salah satu sunnah/ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan sunnah/ajaran itu dengan beralasan mengikuti pendapat seorang tokoh.”
Dalam hadits sahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan diutusnya sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafal Bukhari). Hal ini menunjukkan bahwa prioritas dakwah Islam yang paling pokok adalah mengajak kepada tauhid; yaitu mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah makna dari kalimat laa ilaha illallah.
Dalam hadits yang lain dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas setiap hamba adalah supaya mereka menyembah Allah dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Tauhid inilah hak Allah atas setiap hamba dan kewajban terbesar di dalam agama Islam. Tidak akan diterima amal-amal yang lain apabila tidak dilandasi dengan aqidah tauhid.
Oleh sebab itu dari ayat terdahulu -dalam surat Yusuf 108- kita bisa mengetahui bahwa ciri pengikut rasul adalah mengajak kepada agama Allah ini di atas ilmu. Dan ajakan terpenting dan paling pokok adalah mengajak kepada tauhid. Inilah jalan para pengikut rasul, inilah jalan kaum beriman. Inilah kebenaran yang wajib disebarkan di tengah manusia agar mereka terlepas dari kerugian.
Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3). Surat ini dijadikan sebagai dalil oleh para ulama tentang wajibnya berdakwah. Dakwah yang lurus adalah dakwahnya para nabi dan rasul. Dakwah mengajak untuk mentauhidkan Allah. Sebab tauhid inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia di alam semesta ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah selama 13 tahun di Mekah dengan memprioritaskan penanaman aqidah tauhid. Perbaikan aqidah tauhid inilah yang akan menggerakkan perbaikan dalam segala bidang kehidupan. Kami pernah mendengar Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memberikan nasihat kepada para ustaz dalam sebuah acara daurah kitab Shahih Muslim di Kaliurang – Yogyakarta beberapa tahun silam, “Janganlah anda hidup di dunia ini kecuali untuk menegakkan tauhid atau mendakwahkan tauhid.”
Dengan iman dan amal salih seorang muslim memperbaiki dirinya, dan dengan menasihati dalam kebenaran dan menasihati dalam kesabaran maka dia pun ikut serta memperbaiki keadaan saudaranya. Dia bermanfaat bagi dirinya dan juga bagi sesama. Aqidah tauhid ini tidak hanya perlu diyakini, tetapi ia juga harus dibela dan dipertahankan. Tauhid adalah kunci surga. Maka barangsiapa yang mengajak saudaranya kepada tauhid sesungguhnya dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya. Inilah ajakan yang terbaik dan terindah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih bagus ucapannya daripada orang yang mengajak menuju Allah dan melakukan amal salih, dan dia pun mengatakan bahwa aku termasuk bagian dari kaum muslimin.” (Fushshilat : 33)
Dengan mewujudkan tauhid dan mendakwahkannya seorang hamba meniti perjalanan hidupnya di atas takwa. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Takwa mencakup pelaksanaan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sementara tauhid merupakan perintah teragung dan syirik adalah dosa besar yang paling besar. Sudah menjadi tugas umat pengikut rasul untuk menegakkan tauhid dan mendakwahkannya serta menjauhi syirik dan memperingatkan umat dari bahayanya. Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wallahul musta’an.