Pelajaran Berharga dari Abdullah bin ‘Ukaim

Bismillah.

Abdullah bin ‘Ukaim rahimahullah, beliau disebut oleh para ulama sebagai mukhadhram; yaitu orang yang hidup di masa jahiliyah kemudian masuk Islam tetapi tidak berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Thabaqah/tingkatan mereka berada diantara tingkatan sahabat dan tabi’in. Ibnu Hajar menegaskan bahwa tingkatan mukhadhram adalah termasuk pada jajaran pembesar tabi’in (lihat Tanbih Dzawil Fithan, hlm. 100 karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani dan Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 3/282 karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahumallah)

Dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh Ibnu Sa’d dan al-Fasawi, disebutkan bahwa Abdullah bin Ukaim rahimahullah mengatakan, “Aku tidak akan mau membantu untuk menumpahkan darah seorang khalifah pun setelah terbunuhnya Utsman.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Abu Ma’bad, apakah anda membantu menumpahkan darahnya?”. Beliau menjawab, “Aku menghitung perbuatan menyebutkan kejelekan-kejelekannya tergolong bantuan dalam menumpahkan darahnya.” (lihat Tanbih Dzawil Fithan, hlm. 100)

Apa yang disebutkan oleh Abdullah bin Ukaim ini -semoga Allah merahmati beliau- menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kita, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Malik hafizhahullah; bahwa menyebutkan aib-aib dan keburukan-keburukan penguasa adalah termasuk tindakan yang akan membuka gerbang untuk tertumpahnya darah mereka. Karena itulah, sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma telah memperingatkan kaum muslimin dari bahaya lisan. Beliau berkata, “Sesungguhnya fitnah/kekacauan itu muncul gara-gara lisan, bukan dengan ulah tangan.” (lihat Tanbih Dzawil Fithan, hlm. 99)

Mengkritik pemerintah di depan publik adalah metode Khawarij. Tidakkah kita ingat bagaimana lancangnya pendahulu mereka ketika mengkritik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat beliau membagikan ghanimah kepada beberapa kelompok orang, kemudian datanglah orang yang mengatakan kepada beliau, “Demi Allah, anda tidak berbuat adil.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Betapa celaka anda, siapakah yang berbuat adil jika aku sendiri tidak berbuat adil. Sesungguhnya aku sedang melunakkan hati mereka…” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim)

Mahabenar firman Allah (yang artinya), “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Israa’ : 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengatakan yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang ingin menasihati penguasa maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan (di muka umum). Akan tetapi hendaklah memegang tangannya dan berbicara berdua dengannya. Apabila dia menerima nasihat itu maka itu yang diharapkan. Akan tetapi apabila penguasa itu tidak menerima maka sesungguhnya dia telah menunaikan tugasnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim)

Para ulama menilai perbuatan mencela dan mengumbar aib-aib penguasa adalah bagian dari benih-benih pemberontakan kepada penguasa; suatu hal yang terlarang di dalam Islam. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Dan bukanlah pemberontakan itu pasti dalam bentuk mengangkat pedang/senjata kepada penguasa. Bahkan ucapan/mengumbar aib dan celaan yang mereka tujukan kepada penguasa adalah bentuk pemberontakan kepadanya. Karena ini semuanya pada akhirnya akan membuahkan terjadinya revolusi dan mengakibatkan terpecahnya tongkat ketaatan/persatuan umat. Keburukan ini berangkat pertama kali dari ucapan. Oleh sebab itu perkara-perkara semacam ini (mengobral aib pemerintah) adalah perkara yang tidak boleh. Karena hal itu akan mendatangkan keburukan-keburukan bagi kaum muslimin.” (lihat keterangan beliau dalam Syarh ad-Durrah Mudhiyyah, hlm. 267 dst)

Semoga catatan singkat ini bermanfaat. Wallahul musta’an.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *