Belajar Memahami Ikhlas

Bismillah.

Ikhlas, ringan diucapkan tetapi mungkin butuh perjuangan keras dalam mewujudkannya. Akan tetapi sesungguhnya ikhlas itu mudah bagi siapa saja yang dimudahkan oleh Allah.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai muslim tentu kita membutuhkan keikhlasan. Kenapa demikian? Karena ikhlas merupakan syarat diterimanya seluruh amalan kita. Tanpa keikhlasan sebesar apapun amal maka tidak akan ada harganya di hadapan Allah.

Para ulama menjelaskan bahwa hakikat ikhlas adalah membersihkan niat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga orang yang ikhlas mengharapkan wajah Allah dan pahala dari-Nya. Yang dia cari bukanlah balasan, imbalan, atau sanjungan dan ucapan terima kasih dari orang lain.

Oleh sebab itulah orang yang ikhlas akan selalu melihat penilaian dari Allah kepada amalannya, bukan kepada pandangan manusia terhadap dirinya. Yang dia cari adalah keridhaan dan kecintaan dari Allah. Sehingga dia akan berusaha untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikannya -selama hal itu memungkinkan- sebagaimana dia sembunyikan dosa dan kesalahan yang pernah dia kerjakan.

Orang yang ikhlas beramal dan berjuang bukan untuk mencari sebutan, ketenaran, atau memalingkan wajah-wajah manusia agar terkagum-kagum kepadanya. Dia akan berjuang menundukkan ambisi dan kegandrungan kepada popularitas dan sanjungan. Dia akan berusaha mengobati penyakit-penyakit yang merusak keikhlasan hatinya. Sebagaimana ucapan sebagian salaf, “Tidaklah aku mengobati suatu hal yang lebih berat daripada niatku; karena ia selalu berbolak-balik…”  Sebagian mereka juga berkata, “Tidaklah aku berjuang dengan sebuah perjuangan yang lebih berat daripada perjuangan untuk mencapai keikhlasan.”

Diantara gambaran keikhlasan itu telah digambarkan di dalam hadits, “Seorang lelaki yang memberikan suatu sedekah seraya menyamarkannya -agar tidak tampak/diketahui orang lain- sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan bersihnya hati dari perusak keikhlasan maka suatu amalan yang tampaknya kecil akan membuahkan pahala besar dan berlipat-ganda. Bukankah di dalam hadits yang menyebutkan tujuh golongan yang diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat itu juga disebutkan, “Dan seorang lelaki yang mengingat Allah tatkala sendirian/sepi lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sebaliknya, amal-amal yang banyak tetapi tidak dilandasi dengan keikhlasan hanya akan terbang sia-sia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka lakukan lantas Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23). Sehingga wajarlah jika sebagian ulama terdahulu berkata, “Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar justru berubah menjadi kecil -pahalanya- gara-gara niat pula.”

Para ulama mengatakan bahwa sesungguhnya amal-amal itu menjadi berbeda keutamaan dan tingkatan pahalanya di sisi Allah disebabkan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya, yaitu keikhlasan dan keimanan. Semakin ikhlas dan semakin sesuai tuntunan maka semakin besar pula pahala dan keutamaannya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian orang yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Hilangnya keikhlasan bisa mengantarkan kepada kemunafikan dan kehancuran. Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menceritakan keadaan orang-orang munafik yang riya’/mencari pujian dari manusia dengan sholat dan ibadahnya. Orang munafik menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekafiran. Mereka mengucapkan dengan mulut mereka sesuatu yang tidak tertanam di dalam hatinya. Mereka memendam keragu-raguan terhadap kebenaran janji Allah dan pertolongan dari-Nya. Di dalam hati mereka tersimpan penyakit maka Allah pun tambahkan penyakitnya kepada mereka. Mereka melupakan Allah maka Allah pun melupakan mereka…

Bahkan, dakwah tauhid -yang itu menjadi jalan para rasul dan pengikut mereka- itu pun hanya akan diterima sebagai amal salih apabila disertai dengan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata…” (Yusuf : 108). Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah bahwa di dalam ayat itu terdapat faidah peringatan dan nasihat untuk menjaga keikhlasan; sebab banyak orang yang berdakwah ternyata mengajak kepada -kepentingan- dirinya sendiri, bukan murni mengajak kembali kepada agama Allah… Allahul musta’aan.

Begitu pula membangun masjid hanya akan mendatangkan pahala jika ditegakkan di atas asas keikhlasan dan takwa kepada Allah. Tidakkah kita ingat bagaimana celaan Allah kepada kaum munafik yang membangun masjid Dhirar untuk memecah-belah kaum muslimin, bahwa ‘mereka membangun bangunannya itu di tepi jurang yang miring dan longsor sehingga menyeret mereka jatuh ke dalam neraka Jahannam…’

Bahkan kalimat syahadat sekalipun tidak ada nilainya di hadapan Allah jika tidak dibarengi dengan keikhlasan niat orang yang mengucapkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka untuk menyentuh/membakar orang yang mengucapkan laa ilaha illallah seraya mengharapkan dengannya wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diantara keutamaan dan buah ikhlas adalah meringankan dalam melakukan amal ketaatan yang terkadang dirasakan berat oleh kebanyakan orang.  Selain itu ikhlas juga membuahkan penjagaan dan perlindungan dari Allah kepada hamba-Nya; sebagaimana kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang dipalingkan/diselamatkan dari keburukan dan perbuatan keji disebabkan beliau termasuk orang-orang terpilih lagi ikhlas. Begitu pula Iblis telah bersumpah di hadapan Allah akan menyesatkan semua anak Adam kecuali hamba-hamba yang ikhlas dan terpilih.

Orang yang ikhlas adalah orang yang hanif; yaitu yang mengabdi kepada Allah semata dan berpaling dari segala bentuk sesembahan dan pujaan selain-Nya. Orang yang ikhlas merasa khawatir apabila kemunafikan bercokol dan berkembang-biak di dalam hatinya. Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah mengkhawatirkan hal itu -sifat kemunafikan- kecuali orang beriman, dan tidaklah merasa aman darinya kecuali munafik.”

Orang yang ikhlas akan terus berusaha menjauhi syirik besar maupun kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebab syirik merupakan penghapus amalan dan ketaatan yang telah dilakukan. Allah berfirman (yang artinya), “Seandainya mereka itu melakukan syirik pasti akan lenyap apa-apa yang selama ini mereka amalkan.” (al-An’aam : 88)

Orang yang ikhlas akan menujukan segala bentuk ibadah, sholat, dan sembelihannya untuk Allah semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim). Bahkan orang yang ikhlas akan meninggalkan sesuatu pun karena Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meninggalkan sesuatu perkara karena Allah pasti Allah akan gantikan baginya sesuatu yang lebih baik dari hal itu.” (HR. Ahmad)

Orang yang ikhlas itulah yang akan bisa merasakan indahnya kehidupan dan lezatnya keimanan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Tiga hal yang barangsiapa memilikinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman…” salah satunya, “Dan dia mencintai seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah..” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sinilah kita mengerti bahwa ikhlas merupakan kebutuhan mendesak yang selalu kita perlukan…

# Ditulis oleh : al-Faqir ila Maghfirati Rabbihi Ari Wahyudi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *