Membuktikan Kehebatan

Bismillah.

Tidaklah diragukan bahwa ujian dan cobaan menghasilkan sebuah pembuktian. Pembuktian akan keberadaan dan kualitas pihak yang mendapat ujian. Kekuatan sebuah batu akan teruji ketika ia ditekan atau bahkan dibanting tanpa mengalami kehancuran.

Seperti itulah kurang lebih tamsil dan gambaran kehidupan manusia. Manusia dihadapkan dengan berbagai bentuk cobaan dan ujian dalam hidupnya. Baik ujian itu berupa sesuatu yang menyenangkan dan disukai hawa nafsu atau sesuatu yang terasa pedih, perih, dan menyesakkan dada. Bukankah Allah telah menyatakan (yang artinya), “[Allah] Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Bahkan setiap orang beriman tidak bisa lepas dari ujian. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami beriman’ lalu mereka tidak diberi ujian?” (al-’Ankabut : 2). Sebagaimana kerasnya sebuah batu perlu melalui tahap ujian, demikian pula ketegaran iman tidak bisa mengelak dari pembuktian. Karena itulah dikatakan oleh seorang ulama terdahulu Hasan al-Bashri rahimahullah, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”   

Dengan begitu seorang muslim akan menyadari bahwa iman bukanlah teori tanpa praktik, atau aktifitas yang lepas dari bimbingan wahyu dan fitrah sebagai hamba Allah. Iman -dalam terminologi agama- menuntut dan mengandung amal perbuatan. Karena itu para ulama sunnah -dari jaman ke jaman- menegaskan bahwa amal adalah bagian serta pilar keimanan.

Barangsiapa mengeluarkan amal dari hakikat iman maka padanya terdapat pemikiran sesat ala Murji’ah. Sebagaimana mereka yang berlebihan dalam hal penetapan amal sampai-sampai mengkafirkan pelaku dosa besar juga telah terjerumus dalam kerusakan ala Khawarij. Sementara iman -dalam konsep dan kaidah Ahlus Sunnah- bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan. Tetapi iman itu bertingkat-tingkat, sebagaimana amal juga bertingkat-tingkat.

Ringkasnya, setiap kita tidak bisa absen dari ujian. Sesungguhnya absennya kita dari suatu kebaikan -yang bisa dan seharusnya sempat kita kerjakan- adalah catatan yang kelak akan dilaporkan pada hari kemudian. Karena setiap nikmat yang Allah berikan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Rabb penguasa alam semesta. Apakah kita pandai mensyukuri nikmat itu… Apakah kita menyadari agung dan besarnya nikmat itu… Ataukah kita termasuk golongan pengngkar nikmat Tuhan… Ataukah kita tergolong pengkhianat tujuan penciptaan? Sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Ya, memang kita tidak bisa berhenti dari belajar dan membekali diri dengan ilmu agama dan pemahaman akan arti kehidupan. Sebab hidupnya kita pada hari ini adalah nikmat Allah yang harus kita isi dengan ibadah dan ketaatan. Hasan al-Bashri rahimahullah telah menasihatkan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu ini adalah kumpulan hari demi hari. Setiap kali hari berlalu artinya lenyaplah salah satu bagian dari dirimu itu.”

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk kita. Wallahu a’lam.

 

Yogyakarta, awal Dzulqa’dah 1438 H

www.al-mubarok.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *