950 Tahun Berdakwah

Bismillah.

Salah satu kisah penting dalam sejarah manusia adalah perjuangan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salam selama 950 tahun mengajak umatnya untuk mentauhidkan Allah.

Allah berfirman :

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا

“Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya maka dia pun tinggal (berdakwah) di tengah mereka selama seribu tahun kurang lima puluh.” (al-‘Ankabut : 14)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat :

عن ابن عباس قال : بعث نوح وهو لأربعين سنة ، ولبث في قومه ألف سنة إلا خمسين عاما

“Dari Ibnu Abbas, beliau berkata : Nabi Nuh diutus sebagai rasul pada umur 40 tahun dan beliau tinggal menetap/mendakwahi kaumnya selama seribu tahun kurang lima puluh/950 tahun.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Ankabut ayat 14 link : http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura29-aya14.html)

Kisah ini memberikan pelajaran bahwa dakwah tauhid ini membutuhkan kesabaran. Meskipun Nabi Nuh ‘alaihis salam menjalankan dakwahnya siang dan malam, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, setelah sekian lama tetapi tidaklah beriman kepadanya kecuali sedikit.

Allah berfirman menceritakan ucapan Nabi Nuh ‘alaihis salam :

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا

فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا

“Dia (Nuh) berkata : Wahai Rabbku, sesungguhnya aku mendakwahi kaumku malam dan siang, maka tidaklah dakwahku itu menambah kepada mereka selain bertambah lari.” (Nuh : 5-6)

Allah berfirman :

وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud : 40)

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan :

وما أقرّ بوحدانية الله مع نوح من قومه إلا قليل

“Maksudnya adalah bahwa tidak mengakui keesaan Allah (tauhid) bersama dengan Nuh diantara kaumnya kecuali sedikit.” (lihat Tafsir ath-Thabari Surat Hud ayat 40 link : https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura11-aya40.html)

Dari sini kita melihat betapa besar kesabaran yang dibutuhkan; karena waktu yang dijalani begitu lama dan jumlah orang yang menerima dakwahnya hanya sedikit. Dengan demikian bukanlah ukuran keberhasilan dakwah itu dengan jumlah pengikut yang banyak atau pesat berkembang dalam waktu yang singkat.

Akan tetapi yang menjadi ukuran adalah bagaimana dakwah itu dilaksanakan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah (di atas ilmu yang nyata) dan ikhlas karena-Nya.

Allah berfirman :

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah : Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (Yusuf : 108)

Kalimat ‘mengajak menuju Allah’ menunjukkan bahwa dakwah ini harus ikhlas karena Allah. Mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah. Bukan mengajak kepada kepentingan pribadi, kelompok atau golongan serta ambisi-ambisi duniawi. Dan dakwah ini pun harus di atas bashirah yaitu di atas ilmu/hujjah yang nyata. Tidak boleh berdakwah di atas kebodohan. Karena berdakwah dengan kebodohan justru akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki keadaan.

Bahkan dikisahkan dalam hadits yang sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma -hadits tentang 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab- mengenai kedatangan para nabi pada hari kiamat nanti bersama pengikutnya. Ada diantara para nabi itu yang pengikutnya hanya sedikit di bawah 10 orang, bahkan ada nabi pengikutnya cuma satu atau dua orang. Bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali. Tentu kita tidak akan mengatakan bahwa nabi ini gagal menjalankan tugas dakwahnya di jalan Allah…

Oleh sebab itu tidak sepantasnya para da’i menjadikan ukuran kemajuan dakwahnya dengan banyaknya jumlah follower di media sosial, banyaknya subscriber, jumlah like dan share, banyaknya pengunjung websitenya, atau perkara-perkara lain yang serupa. Apalah artinya sekian banyak orang yang memuji jika di hadapan Allah kita adalah sosok yang tertolak amalnya karena riya’ dan ujub?

Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Wallahul muwaffiq.

Penyusun : Redaksi www.al-mubarok.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *